Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Hasta Indriyana: RAHASIA DAPUR BAHAGIA

May 04, 2018 0 Comments

image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Rahasia Dapur Bahagia
Penulis : Hasta Indriyana
Cetakan : I, Januari 2017
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Sleman, Yogyakarta.
Tebal : xx + 115 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-6776-24-2
Desain Isi : Kun Andyan Anindito
Ilustrasi Isi : Ismu Ismoyo
Desain Sampul : Yopi Setia Umbara
Gambar Sampul : “Mellow Dramatic Fools” karya Fatoni Makturodi
Prolog : Purwadmadi

Rahasia Dapur Bahagia terdiri dari 3 bagian, yaitu Rahasia (20 puisi), Dapur (21 puisi), dan Bahagia (29 puisi).

 Sepilihan puisi Hasta Indriyana dalam Rahasia Dapur Bahagia

TEKO POCI

Di pucuk lidah usia terasa berharga
Di pangkal kenangan kita merasa pernah ada

Gunung Kidul, 2013


JAKA UMBARAN

Darah Ki Gede Wanakusuma telah
Dikabarkan pada Sultan. Keris telah
Disarungkan di warangka, tubuh ibunya
Sendiri. Kini ia resmi menjadi anak raja
Anak kandung yang diaku lewat syarat
Membunuh ibu dan paman
Sang pemberontak sultan
Yang kelewat tangkas dan liat

Tanah di Giring kering. Gugus kelapa
Meninggalkan nyiur di antara belik
Yang dijaga bulus dan pelus

Bagaimana Brawijaya mengajari anak
Cucu mengukur tali saudara, memberi harga
Pada lidah dan tali darah?

Nun, Sunan Kalijaga telah membaca
Arah sejarah trah Kali Gowang
Yang batu-batunya berlubang dan air
Mengalir di antara pohon poh dan preh

Tak ada lagi daun lembayung dan
Kacang panjang dirajang di tiap
Babat dalan Sodo. Apem jagung dibalut
Daun salam, dikukus kerucut dalam
Anyaman kukusan kerucut di atas dandang

Orang-orang menoleh membayangkan
Wajah seorang senopati muda, cucu
Ki Ageng yang selama hayat menyatukan
Diri dengan alam lewat ajaran-ajaran
Sang Sunan.

Cimahi, 2016



KI AGENG SELA
Setelah ditangkap, petir di tangannya Diikat di sebatang pohon gandri Petir yang berkilat dan menggelegar Gemetar menatap petani lugu
Kembali seperti semula, petani gagah Itu menanam padi gaga dan merawat Kolam, membuat bleng dan garam Membuat nila, menanam Kembang pulu dan maning Menanam junjutan Sebagai benang halus Sutera untuk membikin Cindhe gedhog membikin joglo Limasan, membikin motif kain lurik
“Tanah adalah kewajiban memeliharanya Tiap orang. Disebut satu bau dikerjakan Dua orang. Disebut cacah sakikil jika Dikerjakan empat orang.”
Tak berapa lama, petir yang dipenjara Diperciki air dari batok kelapa seorang Perempuan tua
Suaranya menggelepar Keduanya lenyap
Lidah lebih panjang dari jalan Buat memanjangkan kisah tentang Petani lugu yang menangkap petir dengan Kilat
Gunung Kidul, 2015

WARA SURENDRA
Rautnya sedih namun memikat Luruh mengendap seperti santan Cerdas juga santun
Sinom di kening lebat Rambut gelombang, leher jenjang Dada bidang
Bersama ibu, Wara Surendra memetik Jambu dersana, manggis, kepel, kokosan Rambutan, duwet putih, delima Jeruk keprok, salak medhi, mangga sengir
Wara Surendra memasak sayur bening Sambal jagung sayur menir, pecel Ayam panggang, lalap cambah-telasih Ayam betutu, ikan gabus gepuk Sambal brambang lalapan seledri Bawang sunti dan mentimun
Wara Surendra membikin wedang kawa Gula tebu, kue putu, kue bikang
mendut, koci, semar mendem
Dibungkus telur dadar disiram Santan kanil
Wara surendra membikin sambal goreng Kering, udang dan hati ayam Rambak kulit ayam berbumbu petis Nasi lembek dan akas, nasi liwet ayam jago
Wara Surendra membikin wedang Daun belimbing wuluh, keripik ketela Keripik linjik, pisang goreng, karak
Malam di pendapa Ki Darmajati Cahaya damar gemerlapan menimpa Dinding dan tiang jati
Semua hidangan telah disuguh dari Lentik perempuan berhati teguh Perempuan yang tekun dan cekatan Terampil menyiapkan ratus, bedak Param, tapel pupur wilis, konyoh Meracik jejamuran, mengetahui segala Rempah-pawah, obat daun yang Berkasiat. Pandai pula menenun Memintal benang, menyulam, menyongket Merangkai bunga, menjahit, mencelupkan Ke soga, mewarisi kain batik, mematut Matut isi rumah
Hingga pada waktunya, tamu rupawan Yang bercahaya undur diri dan Berpesan pada Wara Surendra
“Rara, kudoakan Kepada Allah Segeralah menikah, mendapatkan Jodoh yang tepat, yang tulus Berbudi keturunan mulia.”
Cahaya damar tetap berpendar sampai Subuh. Sang tamu undur mengulum senyum
Magelang, 2015

SRI SADANA
Melata ke timur, ia mengulur umur Mengukur jarak tempuh tanpa keluh
Di Wasutira tubuh yang lentur melingkar Bersimpuh di sebuah lumbung padi Milik Ken Sanggi
Sentong gentong geming dan tenang Siapa jabang bayi yang ditunggui ular Melilit diri dalam sunyi yang membelit Tubuh atas kutuk pastu ayah yang Berderik dan berderit Dikala lapar di malam-malam?
Sadana melayang menjelma Sriti hitam menyingkap langit di antara Delapan penjuru mata angin Menyangkal nasib diri telah bersayap Dan berparuh di separuh umur yang senyap
“Sampai di mana aku? gerutunya “Akan ke mana lajur usia menuju Jika tubuh adalah gugus bulu Yang diterpa angin dan arakan awan?”
Sayap yang sepi tanpa peta tanpa Waluku. Itu sebabnya Wedowati Tak terlacak di serak bentang sawah Dan liku kali
“Begitulah,” ujar Ki Brikhu, “akan Kusediakan sedah ayu, kembang, lampu Dan uba rampe bagimu, Ular, yang Melingkar dan menjagai bayiku, jabang bayi Titisan Dewi Tiksnawati.”
Di hari terang ketika awan berarak ke barat Mengabarkan angin paling hangat pada Si burung sriti, Wedowati pun malih Kembali semula
Di waktu kekinian, tanah rekah dan keras Luku bajak sapi telah ditaut dalam kisah  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Kisah tentang petani yang Menganggap pekerjaannya Klangenan belaka
Sementara musim tak lagi bisa diterka
Cimahi, 2016

DAENDELS
Jawa digaris sepanjang tepi selat Bali selat Sunda setelah Inggris menggencetnya dan Dua ribu serdadu cuma sepertiganya Bersenjata
Petani dipaksa memintal benang menenun Kain. Pengrajin tembaga Gresik disulap jadi Pabrik bedil. Pengrajin gamelan Semarang Dipaksa jadi pabrik mesiu
Di mana-mana Petani mesti menyetor padi, uwi, gembili Buah, dan sayuran buat menguruk Pekerja rodi yang mati berceceran buat Mengganti tulang-belulang pekerja Yang dibakar di sepanjang jalur Yang dibikinnya
Ada yang belum terangkut Rempah-rempah dan kitab masakan pribumi Ketika jalan terpanjang di bumi Itu hampir jadi
Cimahi-Magelang, 2015

BOSSCHA
Ribuan tahun setelah kaisar Shen Nung Menemukan teh dan cendekian Lu Yu Menulisnya dalam kitab, di kampung kecil Bosscha menyentuh-nyentuhkan sepuluh Jari di papan piano memainkan nada Gemerincing itu sebagai daun teh yang Jatuh melayang dan luruh di sebuah Telaga bening
Pengalengan yang dingin bisa diusir Sepat-sepat teh. Teh yang menghampar Di seluas lereng gunung Windu
Jalan berkelok-liku dan embun Yang turun setebal Kapas menjadi lengkap di antara para Petani teh bercaping lebar yang berjajar yang Ditunggui mandor berpistol di sisi pinggang Sebelah kiri
Di gedung besar seorang seniman diminta Melukis tentang geulis pemetik teh yang Bibirnya merekah seperti daun teh jatuh Melayang, dan entah kelak ke mana kan luruh
2015

BAGIAN DARI KINANTI
Tiba di hutan Bagor tiga pengembara Menunaikan salat Magrib hingga Isya
Gempa mengguncang ketika penguasa Hutan datang
Demikianlah, ketiganya terpesona melihat Perempuan sangat cantiknya duduk menunduk Memohon dirawat pada sang tamu: Ratu Trenggana Wulan, demit penguasa hutan
Tak ada angin tak ada hujan Pengetahuan tentang binatang-binatang Teruraikan di bawah bintang-bintang
“Keringkan darahnya, gerus dengan bawang Merah beserta adas lalu rendam dalam Air wadah mangkok putih Itu obat mata.”
Polo pan kinarya pupuh Ing netra pan datan keri Ing lalamur sawabira Jajantungipun binukti Sawabira saron gampang Sabarang ingkang kinapti
Nun, Nabi Sulaiman menguraikan kasiat Burung pelatuk bawang. Ratu Trenggana Wulan menjabarkan
Kepala untuk obat Mata untuk penglihatan Agar jelas tak kabur Makanlah jantungnya, khasiat Memudahkan sembarang yang Dikerjakan
Kerik jengkerik, suara katup bunga Nangka mendengar ujaran putri Prabu Brawijaya itu tentang burung pelatuk Gagak, dan prenjak
Menjelang Subuh ratu lenyap Meninggalkan aroma wangi di sekitar Telaga Sugihwaras yang tak berwaris
Magelang, 2015

KLIPING WARISAN IBU
Menjelang mangkat, ibu membagi Setumpuk kertas pada istri, kakak-kakak ipar Seperti berwasiat, kitab yang tak Terlalu tebal disodorkan pada menantunya Dengan tangan gemetar
Ibu menciumi setumpuk demi setumpuk sebelum Mengecup pipi semua menantu. Satu-satu Semua dapat
“Tak ada yang kuberikan pada kalian kecuali ini Bukalah sesampai rumah.”
Bertahun kemudian, di sebuah hari ketika rumah Tak dililit ribet dan kami jauh dari ribut, tumpukan Kertas dari ibu kami buka berdua. Kami tertawa
Nyaman rasanya membacanya, seperti berperahu Di tengah telaga sambil memancing ikan-ikan
Sungguh, tanganku digenggamnya erat Perahu bergeming di geriap air yang hening Di bawah langit berwarna kuning
Kitab ternyata telah khatam dibaca istri dan Tiap hari huruf mengelupas sebab Fasih sudah tangan halusnya rikat menerjemahkan Juga, betapa likat lidah mungilnya mencecap rerempah
“Ini resep asli dari ibu. Sayur kesukaanmu Ada di halaman dua tujuh.” Maka terbayanglah Garam, wajan, bumbu, dan tungku gerabah yang Pinggirnya retak cuil kecil di waktu aku kecil
Kini aku mengerti betapa panjang halaman-halaman Ini. halaman-halaman yang mengulur ingatan akan Kampung halaman
Dapur, meja makan, dan tatap matamu yang bening Juga satu kalimat peninggalan ibu di sesisip kliping
“Segala ibu menjadikanmu hangat dari tungku Yang mengepul, dari piring yang berkumpul Dan beradu.”
Cimahi, 2015

PAPEDA KUAH KUNING
Sungguh, surga mana kutemui ini?
Papeda kenyal dari batang sagu Kuah kuning dari kakap berwarna saga
Tak jauh dari hutan dan lembah-lembah Di antara hamparan laut yang menawan
Oi, papeda telah menunggu Sayur ganemo yang di dalamnya Tenggelam daun melinjo Ditumis bunga papaya
Dan kuah kuning tercecap tomat Leon cui, rempah-rempah, dan kaldu Ikan
Sungguh, jika rawa-rawa sungai Sungai dijagai buaya dan gunung Telah dikeruk emas tembaganya Tak boleh dirampas dibawa pergi Resep masakan ini meski nanti seisi Alam makin kikis makin menipis
2015

JENANG 2 WARNA
Ketika kau lahir darah tumpah Ketuban pecah. Wajahmu bercahaya
Aku begitu getir merasakan ibumu Menahan perih dan letih
Aku begitu getar menatapmu Menjadi muazin pertama bagimu
Maka di hari weton Sepiring jenang putih Sepiring jenang merah Di kamar turut mendoakan
Setelah lahir dan diazankan Hidup rampung usai disalatkan
Cimahi, 2014

PEPES BELIDA
Belida yang pipih Dari cokelat kali palembang Dibelit daun pisang dililit rempah Yang dilumat dilumurkan di sekujur
Daun selasih di sampingnya Disimpangkan
Aku menatapnya. Kau menatapnya Sejenak kita susuri Musi seperti Membaca Sriwijaya yang dilayari Kapal dagang dan pelancong yang Tanahnya mencuat beton yang Menjulang dan mengangkang
Baiklah, pepes kita buka Belida yang disayat, beberapa bagian Tubuhnya gosong
Entah siapa diantara kita memulai Mengelupasi kulit dan menempelkan Balutan bumbu di lidah kita yang Tak lelah-lelah berlayar ke mana-mana
Palembang, 2003-2015

BIBIR KUALI
Di bibir kuali pada suatu kali Bibirku ketemu masakan ibu
Bibir yang retak segaris selalu Duduk di tungkai tungku
Tungku api dari batu yang Berlubang dua yang ujungnya miring Ditutup wingko pecahan genting
Dari lebar bibirnya Aku bayangkan seperti kawah Mendidih yang mendedahkan biji-biji Kacang merah dan kacang tanah
Bibir cokelat semu merah itu Kini tiada. Bukan sebab retak Atau rusak tapi karena kenangan Memang harus diciptakan dari dapur Sederhana yang lantainya tanah Yang rumahnya tabah
Magelang, 2015

DI DALAM ISTANA IKAN bersama Roem Topatimasang
Dari berjuta jenis ikan, telah terhidang Beberapa di antaranya di meja restoran
Perut memang kecil, tapi kemauan Lebih berjuta banyaknya dari ikan Di lautan, sentilmu
Tujuh sambal, lalapan, oseng kangkung Memagari kerapu, taneke, baronang Udang, dan ikan lain yang aneh Namanya. Aku termangu dan ragu Memegang pencatut dan garpu ketika Menu yang kupilih seekor kepiting sedang
Bagaimana mereka bisa hidup Di istana air negeri ini? tanyaku
Alkisah, para nelayan dan pelayar Sungguh mencintainya sebagaimana Penyair menjala kata-kata, mendekap Menangkapi puisi dengan perahu miliknya
Tapi siapa sangka jika segala jenis lautan Berteman onak, angin sakal, dan perompak
Ah, nikmati saja. Toh, di sini tak bakal kita Temui tengkulak dan bayang cuaca yang Tak menentu, katamu
Sesaat setelah gerimis rintik, kami Bergegas ketika pengemis cilik Mengacungkan kaleng dengan tangan Kirinya
Makassar, 2006

BANDA REX bersama Nani Zulminarni
Aku tak jadi pesan sate Matang. Kuambil Dua bungkus keripik meulieung dari saku Celana. Jus terong Belanda tandas Sambil menunggu larut, kita pilih-pilih menu
Orang-orang tumpah, seolah tak menyisakan Tempat duduk di warung terbuka ini
Sesekali kuperhatikan bangkai perahu Yang bersandar di atap gedung. Ukiran naga, Cat merah-putih yang mengelupas, dan Lukisan yang tak jelas. Aku teringat masa Kecil ketika menggambar kampung halaman Yang ditumbuhi aneka pepohonan, matahari Yang menyala di tengah, dan kali Yang melintas dan membelit bukit
Oi, mie daging rusa telah diantar pelayan Apakah ini beraroma ganja? Aku bergurau Sambil mencecapnya dengan ujung garpu Lidahmu lebih memilih mencicipi kuah Seolah khawatir aroma berubah
Angin laut sampai juga di sini Aroma kopi ada di kanan-kiri Orang-orang bersliweran
Aku melirik jam tangan ketika piring penuh tisu Dan gelas kosong sudah
“Tak ada jam malam, tak usahlah khawatir,” Katamu sambil langsir menghampiri kassa Aku beranjak. Kita bergegas pulang setelah Mengantri di belakang pemuda berlogat Jawa Yang kaos belakangnya bertuliskan huruf Kapital berwarna merah: Kita harus membangun Sendiri negeri ini!
Angin terasa asin di perjalanan
Aceh, 2008

SAJAK UNTUK UMAR KAYAM
Lantip pergi ke Jogja Dari Madiun dibawanya brem Dan satu pak bumbu pecel Oleh-oleh untuk ibu kosnya dulu Semasa jadi mahasiswa
Lantip diundang jadi pembicara
Diskusi tentang tragedi 1965
Yang akhir-akhir ini di mana-mana Rusuh dengan pelarangan dan Perlawanan
Ia mengelus dada
Di selatan bunderan Sagan pinggiran Rumah sakit, tak didapatinya lagi Penjual bakmi jawa yang penjualnya Laki-laki tua dari Piyaman
Oalah, kecelik
Tak ada kata maknyus kali ini Maka dikitarinya kota seribu hotel Ini dengan vespa pinjaman
Lantip tak bisa ngebut soalnya Semua roda jalannya pelan dan kini ia Mengerti bahwa makin banyak Gerai gawai dan kedai kopi juga Satu-satu toko buku kukut
Oalah, ia kecelik lagi
Yogyakarta, 2015

KOMPOR
Apa kabar kompor? Ini malam ingin kukenang kau
Bagaimana dulu tiap bulan Membongkar wadah minyak tanah Mengulur sumbu dan memotong Pucuknya yang arang dan ringkih
Setelan sumbu harus licin tak mampat Oleh karat. Semua bagian dilap mengkilap Hingga ibu mengulum senyum
Tangan ini puluhan tahun sudah Tak terendam minyak tanah Itu sebab negara kewalahan mengolah Minyak bumi
Pada akhirnya kini, aku Menuliskanmu juga dalam larik Puisi sederhana. Betapa dari ujung Benang menyala itu telah Mengenangkanku pada segala Masakan ibu
Cimahi, 2013

TEDAK SITEN
Di pelataran depan rumah dua kaki mungil Diinjakkan ke tanah ketika usia menginjak Usia sembilan bulan
Dikurung dalam pranji berhias Janur kuning, telah tersedia tumpeng Gudangan, jenang abang-putih, jenang Boro-boro, jajan pasar, ingkung ayam, dan Sega gurih
Di tikar dekat tampah ada jedah merah Putih, hitam, kuning, biru, merah muda Dan ungu
Kembang setaman di bokor. Tangga dari Tebu rejuna, padi-kapas, beras kuning Sekar telon, gelang, kalung, cincin Bapak, ibu, kakek, nenek, kerabat Berkumpul mendekat merubung Kaum
Setelah kaki menginjak jadah Meniti tangga tebu, lalu dikurung Di kranji
Ruang kecil dari anyaman bambu Tersebar perhiasan, cermin, baju, buku Uang Kau pilih yang mana?
Tangan yang tak begitu terampil Menyempil angin menghadang masa depan Dengan jari-jari mungil
Cimahi, 2016

BERITA DI TIVI
Harga cabai rawit mencapai Delapan puluh ribu. Ibu menggerutu Betapa di meja makan Tak aka nada raut megap-megap Keringetan
Bapak berkata bahwa petani seperti Kami menanam tapi cuma memanen Keringat
Bukankah cabai suka bertabiat begitu?
Muntilan, 2014

Tentang Hasta Indriyana Hasta Indriyana lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta; Piknik yang Menyenangkan dan Rahasia Dapur Bahagia. Buku lainnya: Kisah Cinta yang Dirahasiakan (cerpen); Teater, Tiada Hari tanpa Pembebasan (penelitian); Pintar Bahasa Indonesia Superlengkap (bahasa), Seni Menulis Puisi (teori sastra).

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Ada kamus kecil di halaman 94-112, yang dibagi dalam beberapa kategori, yaitu Bumbu (16 entri), Masakan (24 entri), Perabot Dapur (16 entri), Pohon (27 entri), Tokoh (11 entri) dan Umum (45 entri). Termasuk di dalam entri umum ada sedikit berpanjang lebar dijelaskan tentang: perdagangan rempah, sejarah kopi di Indonesia, dan sejarah teh di Indonesia. Dalam laman biodata ada 3 orang, yaitu Hasta Indriyana, Purwadmadi Admadipurwa, dan Ismu Ismoyo. Purwadmadi menulis Menggantang Kelembutan, Liris-liris Lirik Memesona sepanjang 7 halaman (halaman xi-xvii). Halaman persembahan berisi kata-kata ini: Mengenang sahabat baik: Eko Boedyono. Kira-kira begitu.

Georg Trakl: MIMPI DAN KELAM JIWA

May 04, 2018 0 Comments

image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Mimpi dan Kelam Jiwa, kumpulan puisi dwibahasa,
Jilid VII Seri Puisi Jerman
Penulis : Georg Trakl
Terjemahan Indonesia oleh: Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser
Cetakan : I, September 2012
Penerbit : KOMODO BOOKS, Depok.
Penerbitan buku ini dibantu dengan dana dari Goethe-Institut Jakarta.
Tebal : vi + 136 halaman (41 puisi)
ISBN : 978-602-9137-26-2
Gambar sampul : Arif Bachtiar
Rancang Sampul : Tugas Suprianto
Visualisasi isi : Tim Komodo Books
Pengantar : Berthold Damshäuser

Sepilihan puisi Georg Trakl dalam Mimpi dan Kelam Jiwa

Muramlah lagu hujan musim semi malam hari,
Di bawah awan: gerimis kuntum pir yang jingga,
Sulapan jiwa, nyanyian dan keedanan malam.
Malaikat menyala berlesatan dari si mata wafat.

(nb. puisi tanpa judul)


Dekatnya Maut
(Nähe des Todes)

O senja yang melangkah ke muram dusun masa kanak.
Kolam di bawah pepohonan
Kian sarat oleh ratap sampar sang kemurungan.

O hutan yang lirih tundukkan mata coklatnya,
Saat ungu hari-hari girang dia yang kesepian
Berguguran dari tangannya yang tinggal rangka.

O dekatnya maut. Mari kita berdoa.
Malam ini, di bantal hangat, kuning oleh dupa,
Terurai lengan rapuh mereka yang kasmaran.

 Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ 

Grodek
Di senja hari, hutan-hutan musim gugur, Dataran kencana, dan danau-danau biru Bermentari kian muram, menggema Oleh maut senjata. Malam mendekap Prajurit sekarat dan ratap liar Mulut mereka yang patah. Namun, di rumput lembah berhimpun senyap Merah gemawan  - tumpahan darah, kesejukan Bulanâ€" tempat  dewa murka berdiam; Segala jalan bermuara di kebusukan hitam. Di bawah kencana reranting malam dan gemintang, Bayang adik perempuan melenggang lintasi bisu hutan Bertakzim pada ruh pahlawan, pada kepala berdarah mereka; Dan gelap serunai musim gugur mengalun lirih di alang-alang. O duka yang kian jumawa! Wahai, altar-altar kebesian. Nyala panas sang ruh, anak-cucu yang tak lahir, Berkobar oleh nestapa.
Grodek : Nama kota di Polandia tempat terjadi pertempuran antara Austria dengan Rusia pada tahun 1941. Trakl sempat menyaksikannya sebagai juru rawat.

De Profundis
Ada ladang kering, diguyur hujan hitam. Ada pohon ranggas, berdiri sunyi. Ada desis angin, kitari gubuk lengang. Alangkah pilu ini malam.
Jauh dari desa, Si gadis piatu lembut siangi bulir kerontang. Matanya membulat keemasan, memamah dalam senja, Dan rahimnya merindukan mempelai surgawi.
Di jalan pulang, Penggembala temukan tubuh elok itu, Telah membusuk di semak berduri.
Aku bayang, jauh dari dusun-dusun kelam. Kebisuan Tuhan Telah kureguk dari perigi di hutan.
Di dahiku menjelma dingin logam, Laba-laba mencari jantungku. Adalah cahaya, di mulutku memadam.
Malam itu kutemukan diri di huma, masai oleh sampah dan debu gemintang. Di semak-semak pohon kemiri, Malaikat kekristalan kembali menggema.
De Profundis: Bahasa Latin, artinya “dari kedalaman”. Awal dari sebuah mazmur terkenal (“dari kedalaman kupanggili namamu, o Tuhan”) yang sering dibacakan atau dinyanyikan dalam upacara penguburan Katolik.

Senyap para mendiang mencintai taman tua, Perempuan gila yang dulu menghuni kamar-kamar biru, Di petang hari, sosok senyapnya hadir di jendela.
Namun, dulu ia tutup tirai lusuh - Suara kelereng bangkitkan kenangan masa kanak. Di malam hari, kita temukan bulan hitam di hutan.
Di biru cermin, kini sonata merdu berbunyi. Pelukan-pelukan panjang dan hangat. Senyum si gila melintas di bibit si sekarat.

Kepada Si Pemuda Elis (An den Knaben Elis)
Elis, jika amsel memanggil di rimba gelap, Tibalah keruntuhanmu. Bibirmu mereguk kesejukan perigi biru.
Jika dahimu lirih berdarah, tinggalkan Dongeng legenda purbakala Dan isyarat gelap burung-burung di angkasa.
Namun, kau melangkah lembut ke lubuk malam Yang rimbun oleh anggur ungu, Dan kian gemilang kau ayunkan lengan dalam biru.
Semak berduri bersenandung Di tempat matamu membulan. O, engkau mati, Elis, betapa lama silam.
Tubuhmu setangkai bunga bakung, Ke dalamnya biarawan celupkan jemari lilinnya. Goa hitamlah kebisuan kita.
Kadang, dari goa itu keluar hewan lembut mengatupkan perlahan kelopaknya yang berat. Pelipismu ditetesi embun hitam,
Emas penghabisan dari runtuhan gemintang.
Elis: Nama pemuda yang muncul dalam berbagai puisi Trakl. Menurut para peneliti Perpuisian Trakl, nama ini berkaitan dengan buruh tambang Swedia bernama Elis Frobom yang hidup pada abad ke-17. Konon, Elis Frobom mengalami kecelakaan di Tambang pada hari pernikahannya dan meninggal. Jenazahnya baru ditemukan puluhan tahun kemudian dalam keadaan utuh (terkonservasi), jenazah seorang Pemuda belia; sedangkan mempelainya telah menjadi perempuan tua.
Amsel: Burung pengicau, kecil berbulu hitam (Turdus merula).

Lagu Kaspar Hauser (Kaspar Hauser Lied) Untuk Bessie Loos
Sungguh dicintainya mentari jingga turuni bukit, Jalan setapak di hutan, nyanyian gagak, Juga riang kehijauan.
Takzim ia menghuni bayang pohonan, Murnilah wajahnya. Tuhan sabdakan lembut nyala pada kalbunya: O manusia!
Senyap langkahnya temukan kota di senja hari; Gelap ratapan dari mulutnya: Aku ingin jadi penunggang kuda.
Namun, ia dibuntuti belukar dan hewan, Rumah dan tamansenja manusia putih Dan pembunuhnya mengintai.

Kepada Mereka yang Membisu (An die Verstummten)
O, kesintingan kota besar, saat senja Pohonan cacat menjulang di tembok hitam, Saat ruh kejahatan mengintip dari topeng keperakan; Cahaya bercambuk magnet mengusir malam membatu. O, dentang lonceng malam yang terbenam.
Pelacur, dalam gigil es, melahirkan bayi mati. Geram murka Tuhan cambuki dahi si kerasukan, Sampar ungu, lapar yang remukkan mata hijau. O, kencana, keji tawanya.
Namun, di gelap goa, bisu manusia berdarah diam-diam, Memahat kepala penyelamat dari keras logam-logam.

Kalbu (Das Herz)
Memutih sudah kalbu liar di tepian hutan; O muram ngeri Sang maut, saat kencana Sekarat di awan kelabu. Petang November. Di depan bugil gapura rumah jagal Muncul segerombol perempuan melarat; Ke dalam tiap keranjang Berjatuhan jeroan dan daging busuk; Makanan terkutuk!
Merpati biru senja hari Tak mempersembahkan islah. Gelap lengking serunai Mengguncang basah daun kencana Pohonan elm, Bendera koyak Berasap oleh darah Hingga dalam liar kemurungan Seorang lelaki menyimaknya. Wahai! Zaman-zaman membesi Terkubur di sana, di kirmizi senjahari.
Dari lorong muram Melangkah tubuh kencana Sang pemudi Diiringi bulan-bulan pasi, Para pendamping ratu di musim gugur, Cemara hitam runtuh Dalam badai malam, Benteng curam. O, kalbu, Berkilau ke sejuk menyalju.

Di Timur (Im Osten)
Gelap murka rakyat Bagai orgel liar badai salju, Banjir ungu pertempuran, Bintang yang daunnya dilucuti.
Dengan alis patah dan lengan perak Malam melambai pada para prajurit sekarat. Di bayang pohon musim gugur Merintihlah ruh mereka yang terbantai.
Rimba berduri mengepung kota. Dari tangga-tangga berdarah Bulan memburu perempuan resah Serigala buas mendobrak gapura

Detik-detik Kenestapaan (Stunde des Grams)
Kehitaman, langkah di taman musim gugur Membuntuti bulan benderang, Dan malam perkasa rebah di gigil tembok. O, detik-detik berduri kenestapaan.
Keperakan, kandil si sunyi berkelipan di kamarsenja, Sirna perlahan, saat pikirkan sesuatu yang gelap, Dan kepala kebatuan ia bungkukkan ke sesuatu yang fana,
Mabuk anggur dan nada merdu malam. Senantiasa telinga menyimak Ratap lirih amsel di semak.
Detik gelap doa rosario.  Siapakah kau Seruling sunyi, dahi Yang dalam gigi terbungkuk pada zaman gulita.

Helian
Pada detik-detik sunyi sang ruh Alangkah indah melangkah di cahaya mentari Menyusur tembok kuning musim panas. Di rerumputan, langkah mendesir lembut; namun selalu Putra dewa Pan terlelap di marmer kelabu.
Di beranda, senja hari, kita mabuk anggur kirmizi. Persik membara merah di dedaunan; Merdu sonata, riang tawa.
Alangkah indah senyapnya malam. Di hamparan gelap Kita bersua gembala dan putih gemintang.
Saat musim gugur tiba Keberjagaan hadir di hutan. Tenang sudah, kita susuri tembok-tembok merah, Dan mata bulat mengamati burung di angkasa. Di senja hari, air putih meresap ke perabuan.
Di ranting kerontang langit berpesta. Di tangannya yang suci petani membawa anggur dan roti, Dan damailah bebuahan meranum di bilik bermentari.
Alangkah tegas wajah-wajah si mati tersayang. Namun jiwa kan gembira dalam adil tatapan.
Alangkah dahsyat kebisuan taman binasa Saat biarawan memasang daunan sebagai mahkota, Saat nafasnya mereguk dingin kencana.
Tangan-tangan meraba usia perairan biru, Atau pipi putih saudarinya di dingin malam.
Lembut dan serasi, lelangkah menyusuri kamar ramah, Tempat desau pohon maple dan sunyi, Tempat murai mungkin masih bernyanyi.
Eloklah manusia, menjelma dalam gulita, Saat dengan takjub ia gerakkan badan, Saat matanya mengerling senyap di ungu rongga.
Pada doa sore, si asing tersesat di hitam remuk November, Di bawah reranting rapuh, menyusur tembok berlumur kusta, Tempat abang suci dulu melangkah, Tenggelam dalam denting merdu kegilaannya.
Alangkah sunyi tamatnya angin malam. Sekarat, kepala melunglai di gelap zaitun.
Runtuhnya trah, alangkah mengguncangkan. Saat itulah mata si pemandang mengisi diri Dengan kencana gemintangnya sendiri.
Di senja hari, terbenam sebuah genta yang tak lagi berbunyi, Tembok-tembok hitam di kota beruntuhan, Dan si prajurit mati mengajak berdoa.
Menjelma malaikat pucat, sang putra Memasuki rumah leluhurnya yang hampa.
Semua saudari menyambangi lelaki renta. Sekembalinya dari kembara penuh duka, saat malam Mereka ditemukan si penidur di bawah pilar rumah.
Alangkah lengket rambut mereka oleh cacing dan tinja, Saat kaki keperakannya memijak itu semua, Saat mereka, mati sudah, keluar dari kamar-kamar hampa.
Wahai, mazmur-mazmur dalam bara hujan tengah malam, Saat buruh tani mendera mata lembut dengan ilalang, Saat buah-buah kekanakan pohonan murbei Merunduk takjub di atas kosong kuburan.
Bulan-bulan pucat menggelinding sunyi Di ranjang demam si pemuda, Sebelum ia menyusul bisu musim salju.
Suatu takdir mulia termangu di arus sungai Kidron Tempat pohon cedar, makhluk lunak itu, Mekar di bawah alis biru sang ayah Tempat gembala mengasuh dombanya di padang. Juga ada jerit dalam kelelapan, Saat malaikat angkuh datangi manusia di hutan, Saat daging sang Santo meleleh di panggangan membara.
Anggur ungu rambati dangau-dangau, Risik rerumpun gandum kuning, Senandung lebah, kelepak bangau. Di senja hari, yang dibangkitkan bertemu di jalan berbatu.
Di air hitam orang-orang kusta memantul; Atau mereka, dalam ratap, bukai jubah berlumur tinja Ke balsam angin yang bertiup dari bukit merah jambu.
Gadis petani merayau di lorong malam, Ingin berjumpa gembala pengasih. Merdu nyanyi malam minggu membahana di dangau.
Biar jadi lagu kenang bagi si pemuda, Kegilaan, putih keing, kematian, bahkan Bagi busuk jasadnya yang membelalak biru. Alangkah pilu kembalinya kemelekan ini.
Tangga-tangga kegilaan di kamar-kamar hitam, Bayang leluhur di bawah pintu terbuka, Saat jiwa Helian berkaca di cermin merah jambu Saat dari darinya meleleh kusta dan salju.
Telah padam gemintang di dinding Juga sosok-sosok putih sang cahaya.
Dari permadani bangkit belulang kuburan, Juga kebisuan salib-salib yang runtuh di bukit, Juga manis dupa dalam ungu angin malam.
Wahai mata remuk di mulut-mulut hitam, Saat sang cucu dalam lembut kelam jiwa, Sendiri, renungi akhir yang lebih gulita, Saat dewa senyap anugerahi biru kelopak mata.
Helian: sosok lelaki fiktif. Menurut beberapa peneliti, terinspirasi judul kumpulan puisi penyair Perancis berjudul Pauvre Lelian (Lelian Malang) serta sosok Helios (dewa matahari dalam mitologi Yunani) yang menjadi tema dalam puisi Der Mensch (Sang Manusia) karya Friedrich Holderlin. Kemungkinan lain, Helian merupakan semacam gabungan antara “Helios” dan “Heiland”, kata Jerman yang berarti “penyembuh” atau “Penyelamat” dan digunakan sebagai pengganti nama Yesus Kristus.
Pan: Dewa Hutan dan para gembala dalam mitologi Yunani
Kidron: nama sungai dan lembah dekat Yerusalem yang banyak disebut dalam Bibel, kitab suci Nasrani.

Mentari (Die Sonne)
Setiap hari bukit dilanda mentari. Indahlah hutan, hewan-hewan gelap, Dan manusia; pemburu atau gembala.
Di kolam hijau, kemerahan, ikan naik ke permukaan. Di bawah bulat langit Di sampan biru, nelayan mengapung sunyi.
Anggur dan gandum meranum perlahan. Saat dengan tentram, hari pamit berehat Tersedia lah: yang baik, juga yang jahat.
Saat malam tiba, Pengembara lirih membuka berat kelopak; Dari ngarai muram mentari pun menyeruak.

Mimpi dan Kelam Jiwa (Traum und Umnachtung)
Saat petang tiba, ayah disergap renta; di muram kamar wajah ibu membatu, dan si pemuda menyandang beban terkutuknya trah yang menyimpang. Kadang ia terkenang masa kanaknya yang sarat penyakit, kengerian, dan kegelapan, juga permainan rahasia di taman bintang; kadang terkenang saat ia memberi makan tikus-tikus got di remang halaman. Dari cermin biru muncul sosok pucat adik perempuannya, dan seperti mati ia jatuh ke kegelapan. Di tengah malam mulutnya rekah bagai buah merah, dan bintang-bintang gemerlap di atas senyap dukanya. Mimpi-mimpinya memenuhi rumah tua leluhur. Di petang hari, ia gemar berjalan-jalan di kuburan yang terlantar, atau di remang kamar mayat memandangi jenazah, bintik-bintik hijau kebusukan di tangan elok mereka. Di gapura biara, ia minta sepotong roti, dan dikejutkan bayang seekor kuda hitam yang meloncat keluar dari kegelapan. Saat berbaring di sejuk ranjang, ia dilanda isak tak terkatakan. Namun, tak seorangpun datang mengusap dahinya. Saat musim gugur tiba, bagai syaman ia melangkah di padang rumput menguning. O, detik-detik kegirangan yang liar, saat-saat petang di sungai hijau, detik-detik perburuan. O, jiwa senyap yang senandungkan lagu alang-alang kerontang; kesalehan berkobar. Senyap dan dalam ia menatap mata katak, gigil tangannya meraba dingin batuan purba, dan ia menyeru legenda keramat perigi biru. O, ikan-ikan perak dan buah-buah yang jatuh dari cacat pohonan. Alun langkahnya memenuhi dia dengan keangkuhan dan kemuakan atas manusia. Di jalan pulang, ia temukan kastil tak berpenghuni. Dewa-dewa yang runtuh menjulang di taman, dilamun duka senjahari. Namun serasa: di sinilah aku pernah hidup pada tahun-tahun yang terlupakan. Paduan orgel memenuhinya dengan gigil Tuhan. Namun, ia habiskan waktunya dalam gelap doa, berdusta, dan mencuri. Dan ia, seekor serigala menyala, sembunyikan diri dari wajah putih ibunya. O, detik ini, saat dengan mulut membantu ia rebah di taman bintang, saat bayang pembunuh merasukinya. Dengan dahi ungu ia melangkah ke rawa-rawa, dan murka Tuhan mendera bahu-bahu logamnya; o, pohonan birch dalam badai, hewan gelap melata yang menjauh dari kelam jiwa jalan setapaknya. Kebencian membakar hatinya, juga nafsu birahi, saat di taman musim panas itu ia nodai si anak senyap, saat pada cemerlang wajah anak itu ia kenali kelam jiwa wajahnya sendiri. Ah, di jendela senja itu, saat dari bebungaan ungu muncul kerangka mengerikan: maut. Wahai, menara-menara dan lelonceng; bebayang malam pun jatuh membatu di atasnya.  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Tak ada yang mencintainya. Kepalanya membakar dusta dan maksiat di remang kamar. Gemerisik gaun perempuan membuatnya sekaku pilar, dan tiba-tiba di pintu berdiri sosok malam ibunya. Di ubun-ubunnya bangkit bayang sang kejahatan. Wahai, malam dan gemintang. Di petang hari, ia mengembara di
kaki gunung bersama si cacat; di puncak bersalju terbaring kilau
jingga sang senja, dan hatinya lirih berdentang di rembang petang. Berat, cemara membadai rebah di atas mereka, dan dari hutan muncul pemburu merah. Saat malam tiba, hatinya berderai patah, dan kegelapan menghantam dahinya. Di bawah kerontang pohon eik, ia mencekik seekor kucing liar dengan gigil tangannya. Di kanannya, sambil meratap, muncul sosok putih malaikat, dan bayang si cacat memanjang dalam gelap. Namun, ia mengambil batu dan menyambiti si cacat hingga lari terisak. Dan sambil mengeluh, pudarlah wajah lembut sang malaikat dalam bayang pohonan. Lama ia berdiri di ladang kerontang sambil takjub memandangi gemintang kencana. Diburu kelelawar, ia terbirit ke dalam kegelapan. Dengan wajah terengah ia masuki rumah setengah runtuh. Di halamannya, ia, hewan liar, meneguk air biru dari perigi hingga menggigil kedinginan. Dalam demam, ia duduk di tangga besi, berang pada Tuhan, meminta mati. O, wajah kengerian kelabu, saat bulat matanya mendongak ke leher merpati yang terpotong. Melintas lewat tangga-tangga asing, ia jumpai seorang gadis Yahudi, menjemba rambutnya yang hitam, menerkam mulutnya. Sesuatu yang memusuhinya terus membuntuti lewat gang-gang muram, dan telinganya pecah oleh desing logam. Di tembok- tembok musim gugur, ia yang kini jadi pembantu pendeta, dalam senyap membuntuti si pastor membisu, dan di bawah pohonan kering ia mabukkan diri dengan wangi ungu jubahnya. O, cakram mentari yang runtuh. Siksaan manis memakani dagingnya. Di halaman rumah yang terbengkalai, ia didatangi sosoknya sendiri: berdarah dan sarat kotoran. Kian dalam ia cintai karya-karya mulia sang batu; menara yang dengan seringai nerakawi sepanjang malam menyerbu biru langit bintang; dan kubur sejuk tempat tersimpan kalbu berkobar sang manusia. Ah, dosa tak terpermanai yang mengabarkan itu. Tapi, saat ia mengangankan hal-hal membara sambil menuruni sungai musim gugur di bawah pohonan tandus, ia didatangi iblis menyala bermantel sederhana: adik perempuannya. Saat ia terbangun, pudarlah bintang-gemintang di atas kepala mereka berdua.  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  O trah terkutuk. Ketika di kamar-kamar ternoda segala nasib menjadi rampung, maka dengan langkah busuk, maut pun bakal memasuki rumah. O, andai di luar ada musim semi dan burung elok bernyanyi di tunas pohonan. Namun, hijau yang sejumput itu mengering pada jendela kaum kelam, dan kalbu- kalbu berdarah masih juga mengangankan kejahatan. O, remang jalan setapak musim semi yang disusuri si pengangan. Dengan lebih adil dinikmatinya pagar tumbuhan yang berbunga, benih tanaman petani, burung bernyanyi, makhluk Tuhan yang merdu itu; juga lonceng malam dan persaudaraan indah umat manusia. Agar ia lupa akan nasibnya, juga sengat berduri itu. Sungai bakal bebas menghijau, tempat kakinya melangkah keperakan, dan pohon yang sanggup bertutur akan mendesau di kelam jiwa kepalanya. Maka, diangkatnya ular itu dengan ringkih tangannya, dan kalbunya meleleh dalam kobar isakan. Mulialah senyap hutan, kegelapan menghijau, dan hewan-hewan berlumut terburai beterbangan saat malam tiba. O gigil itu, saat segala sesuatu menyadari dosanya lantas menyusuri jalan setapak berduri. Maka, di semak berduri ia temukan sosok putih anak yang mendarahi mantel mempelainya. Namun, ia berdiri bisu penuh duka di hadapannya, terkubur dalam rambut besinya sendiri. O malaikat-malaikat gemilang yang diporandakan ungu Angin malam. Bermalam-malam ia berdiam dalam goa kristal, dan kusta tumbuh keperakan di dahinya. Ia, bayang, turuni jalan setapak di bawah gemintang musim gugur. Salju turun, kegelapan biru memenuhi rumahnya. Suara ayah, suara orang buta, garau menyeru sang kengerian. Ah, sosok terbungkuk para perempuan. Di tangan kaku, bebuahan dan perkakas berkecai sirna dari trah yang cemas. Seekor serigala mencabik anak sulung, adik-adik perempuan melarikan diri ke lelaki-lelaki renta di taman-taman gelap. Ia, syaman kelam jiwa, bermadah tentang mereka di reruntuh tembok, dan suaranya ditelan badai Tuhan. O, berahi sang maut. Wahai, anak-anak dari trah gelap. Bunga-bunga keji sang darah berkilau keperakan di kening si syaman, dan dingin bulan berkilau di matanya yang patah. O, kaum kelam; o, kaum durjana.  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Dalamlah kelelapan di racun-racun gelap, sarat gemintang dan putih wajah batu ibunya. Pahitlah maut, juga makanan para pendosa; di coklat reranting pohonan, wajah- warna tanah berkecai dalam seringai. Namun, ia bernyanyi lirih dalam bayang hijau murbei, saat mendusin dari mimpi keji. Malaikat jingga, sahabat manis, menghampirinya, hingga ia, hewan liar yang lembut, terlena lelap ke dalam malam; ia pun melihat wajah bintang sang kesucian. Keemasan, bunga matahari terkulai di pagar taman kala musim panas tiba. O, sibuknya lebah, dedaun hijau pohonan; kilat dan guruh melintas. Bunga candu pun memekar keperakan, hijau kelopaknya menyimpan kemalaman mimpi bintang kami. O, senyapnya rumah, saat ayah melangkah ke dalam gelap. Bebuahan mematang ungu di pepohonan, dan tukang kebun menyibukkan kasar tangannya; o pertanda keji di cerlang mentari. Namun, di senja hari, dengan langkah Kristal di sepanjang padang rumput tepian hutan, bayang si mati pun tiba di tengah lingkaran duka keluarganya. Bisu, mereka berhimpun di meja. Sekarat, mereka memotong roti dengan tangan lilinnya, roti yang berdarah itu. Ah, mata batu si adik perempuan, saat pada jamuan itu kesintingannya muncul pada dahi kelam si abang, saat roti membatu di tangan nestapa ibu mereka. O kaum yang busuk sudah, saat mereka membisu dengan lidah perak neraka. Lampu-lampu pun padam di sejuk kamar, dan orang-orang nestapa itu saling memandang dari topeng-topeng ungu. Hujan mengguyur semalaman, menyegarkan tanah. Di belantara berduri, si gelap menyusuri jalan setapak di ladang kerontang, nyanyian burung, dan kesenyapan merdu reranting hijau, agar tiba di kedamaian. Wahai, desa-desa dan tangga-tangga berlumut, panorama yang membara. Namun, bagai belulang, langkahnya bergoyang di atas ular-ular yang lelap di tepi hutan, dan telinganya senantiasa menyimak lengking ganas burung nasar. Kehampaan membatu ditemuinya di senja hari, pengiring jenazah ke rumah gelap ayahnya. Awan ungu mengitari kepalanya, hingga dengan bisu ia menyerbu darah dan wajahnya sendiri, wajah membulan, lalu jatuh membatu ke kehampaan, saat dalam cermin retak muncul pemuda sekarat: adik perempuannya. Malam pun memangsa trah durjana.

Tentang Georg Trakl Tak ada biodata Georg Trakl di buku ini. Yang ada malah biodata Editor/Penerjemah di halaman 136. Biografi Trakl dibocorkan dari pengantar Berthold Damshäuser yang berjudul Perpuisian Georg Trakl: Keindahan yang Lahir dari Trauma (hlm. 1-22). Berikut ringkasannya: Trakl lahir pada 3 Februari 1887 di Salzburg, Austria. Anak keempat. Ia lahir dari golongan borjuis yang cukup kaya. Ibunya pecandu opium yang suka menyendiri dan kurang memperhatikan anak-anak karena sibuk sebagai pengumpul barang antik. Trakl cukup pandai bermain piano dan mengagumi komponis Chopin, Liszt, dan Wagner. Ia banyak membaca karya sastra, termasuk novel-novel Karl May. Usia 13 tahun mulai menulis puisi. Tahun 1902 mulai bereksperimen dengan narkoba. Trakl memilih pendidikan formal di bidang farmasi. Ia sempat melamar untuk bekerja di pemerintahan Hindia-Belanda agar dikirim ke Indonesia (mungkin saya akan ke Borneo) sebagai apoteker. Tetapi rencana itu tak terwujud. Tahun 1905 ia bekerja di sebuah apotik di Salzburg. Sejak 1904 ia bergabung dengan kelompok sastrawan Apolla di Salzburg. Pada 1913 krisis jiwanya memuncak. Ia dilanda berbagai fobia. Kumpulan puisinya Gedichte (sajak-sajak) terbit tahun 193, disusul Sebastian im Traum (Sebastian dalam Mimpi) yang terbit posthumous tahun 1915.  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Dalam perang dunia Pertama yang meletus bulan Agustus 1914, ia kemudian direkrut oleh tentara kekaisaran Austria sebagai juru rawat kemiliteran dan dikirim ke medan perang di Ukraina. Dekat kota Grodek, ia terlibat dalam pertempuran hebat antara Austria dan Rusia. Ia diberi tugas mengurus seratus prajurit yang cedera berat. Selama dua hari dua malam ia menghadapi mereka yang menderita, menangis, sekarat tanpa fasilitas yang memadai. Ia juga menyaksikan puluhan penduduk setempat yang dianggap berpihak ke Rusia digantung di pohon-pohon dekat tenda rumah sakit darurat dan mayatnya dibiarkan bergantungan di situ. Melihat adegan itu, Trakl jatuh pingsan dan patah semangat. Atasannya khawatir ia akan bunuh diri dan mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Di situlah, Trakl, yang selalu membawa narkoba, meninggal dunia akibat kelebihan dosis kokain. Kemungkinan besar ia memang membunuh diri. Seorang penyair yang menderita, seorang penyair yang jenius menutup usia pada umur 27 tahun. (hlm 10-11).

Catatan Lain Trakl semasa hidupnya menghasilkan sekitar 100 puisi yang matang, belum termasuk yang ditulis sebelum 1909 yang tidak dianggapnya sebagai karya yang berhasil. (hlm. 12). Setelah pengantar panjang oleh Berthold Damshäuser, di halaman 23 ada puisi Agus R. Sarjono yang berjudul Trakl, ditulis di Bonn, Januari 2011. Jika kita membuka buku, maka puisi asli berbahasa Jerman akan bersanding dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Jika puisi berbahasa Jerman di halaman sebelah kiri atawa halaman genap, maka puisi terjemahan di sebelah kanan atawa halaman ganjil. Sehingga dengan akal-akalan saya, posting puisi yang tampil di sini juga menyertakan judul asli dalam bahasa Jerman, meski di buku tidak begitu. Begitu.  

Dedy Tri Riyadi: DUA DUNIA SATU CERITA

May 04, 2018 0 Comments

image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Dua Dunia Satu Cerita
Penulis : Dedy Tri Riyadi
Format buku : ebook (pdf)
Edisi : Juni 2016
Tebal : 18 halaman (14 puisi)

Dua Dunia Satu Cerita terdiri dari 2 bagian, Beberapa Cerita Dinasti Han (8 puisi) dan Wirataparwa (6 puisi).

 Sepilihan puisi Dedy Tri Riyadi dalam Dua Dunia Satu Cerita

Orang Tua Pemindah Gunung

Yang kau lakukan tak akan pernah sia-sia.
Sebagai Yugong, kau hanya menua.
Tapi Zishou tak tahu apa-apa.

Yang kau lakukan bukan sekadar upaya,
Tapi cita-cita. Bahkan Jingcheng pun mengirimkan
Sang Putra. Kuifu, bagimu hanya kerikil dan debu.

Sepatutnya, di utara Yintu, tersingkirlah
Tat Xing dan Wang Wu. Menyisih ke sisi laut Bo.
Dan terbukalah jalan dari Yuzhou sampai
tepi sungai Han bagi langkah kakimu.

2016


Sepatu Bergambar Macan

Kebenaran harus selalu tegak,
meski kelak hanya gambar
pada sepasang sepatu.

Ia adalah ibu bagi anak-anaknya.
Selalu penuh rindu,
selalu berhitung dalam bertindak.

Meski di rumah pejabat,
Kebenaran harus bisa menang telak.
Kuat dan tajam seperti taring macan.
Siapa menghalangi akan dikoyak.

Dan dia adalah ibu untuk anak-anaknya.
Jari tempat melekatnya kuku-kuku itu.

2016



Jenderal-Jenderal Penjaga Pintu
Kau harusnya bahagia, Qin dan Yuchi, diabadikan sepenuh badan menjaga mimpi.
Seperti pintu -- membatasi ruang diri, melingkupkan pertahanan bagi Raja Li.
Kau layak untuk dihormati, Qin dan Yuchi, dijadikan lambang pertahanan sejati.
Dengan begitu - ia yang ingin tidur sendiri bisa merasa, esok pagi, ada yang akan menyambutnya dari mati.
2016

Bulan untuk Huo Jia
Tertawalah, Huo Jia, untuk bulan di angkasa, karena hidup memang untuk menertawakan kegetirannya sendiri.
Tertawalah, Huo Jia. Tak ada bulan mengapung di telaga. Yang menyangkut di mata kailmu hanya batu kali.
Menangislah, Huo Jia, menangislah dan merasa gagal. Anggaplah dirimu sebagai yang hampir menangkap bulan sebutir.
Dan berbahagialah, Huo Jia. Setiap bulan muncul di langit, ada kisah tentangmu dianggit.
2016

Tiga Lubang Kelinci
Agar lumbungmu aman, kau harus pergi. Menolak Wei dan dapatkan simpati dari Qi. Di tangan Feng Xuan, semuanya terkendali.
Temuilah Qi sekali lagi. Mintalah ia mendirikan kuil suci. Maka berbulan-bulan, para petani akan memberimu padi.
Setelah itu, Meng Changjun, kau akan tetap di sini. Menjadi kelinci pada tiga lubang abadi.
2016

Sarindhri
"Akulah Alfa dan Omega, Firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa."
(Wahyu 1:8)
Sampai semua cahaya di langit direbut, cinta tetap akan hiasan wajah semata. Karena itulah, aku ada.
Dan aku tak peduli, dia Kencaka atau Dursasana, mereka yang tak mengerti, pasti binasa.
Sampai semua raja mengerti dharma, dan semua satria memahami peperangan tidak hanya terjadi di medan laga, aku tetap akan ada.
Aku ada, supaya yang lima (kejujuran, keberanian, kasih, kesetiaan, dan tenggang-rasa) tetap terjaga.
Dan selepas bait ke lima, aku lesap, Menghilang di Himalaya, di antara nama awatara dan sejumlah peristiwa,
2016

Darmagranti
“Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.”
(Yakobus 3:3)
Ia lebih mengerti luasan padang daripada seratus ekor kuda, sebab telah ditulisnya Aswasastra dengan pedang dan wajahnya.
Wajah yang kelak membuatmu mengenang jazirah Mesir hingga Benggala -- gurun, gunung, padang dan belantara.
Wajah yang membuatmu tak yakin; bayang siapa memantul di air kolam.
Wajah yang terpancar dari sebilah pedang, dan membuatmu merasa -- sebelum moksa
ada sakit tak tertahankan. Seperti tubuh diinjak seratus ekor kuda. Seketika.
2016

Tantripala
“Ada lagi padaKu domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengar suaraKu dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala."
(Yohannes 10:16)
Sebentang rerumput dan kembang disentuh demi sapi-sapimu yang lintuh. Bentang alam, semak dan pepucuk delima dirambah bagi tidur ternak yang tenteram.
Setiap yang buatmu terkejut dan bimbang dibunuh, agar bulan di malammu penuh. Dan entah mambang, kuntilanak, atau denawa dicegah agar tak masuk ke mimpimu dalam-dalam.
Karena, sebaik-baiknya ternak adalah yang tidur. tidak ribut atau mendengkur. Dan sebagai gembala, dia berjaga dari serangan serigala, pencuri itu.
Ia berjaga sekaligus mencari, barangkali ada ternak tertinggal tertambat di pinggir kali. Ia ingin kau benar-benar merasa - di sini, di padang penggembalaan, cahaya benderang
bukan hanya datang dari bintang dalam sebuah saga.
2016

Kanka
"Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya, dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat."
(Matius 5:11)
Biar. Biarkan dengan sanyasin, ia membuatmu yakin, Matsyapati, bahwa hidup adalah perjudian bagi harga diri.
Biarkan juga ia, Wirata, bercerita yang gemulai juga bisa memegang pedang seperti Utara.
Biarkan ia membuatmu gundah, seperti kau biarkan sebuah pukulan mendera kepalanya, di ujung cerita.
Sampai kau menyesal dan merapal mantra -- bersetia padanya.
2016

Tentang Dedy Tri Riyadi Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, 42 tahun silam. Sekarang bermukim di Jakarta. Tepatnya di sebuah rumah kontrakan dengan alamat Jalan Haji Batong III No. 28 RT 05 RW 06 Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta Selatan (12430). Rajin menulis puisi untuk kebutuhannya sebagai blogger khusus puisi di blog-nya www.toko-sepatu.blogspot.com, yang kemudian beberapa di antaranya lolos kurasi di media masa seperti Pikiran Rakyat, Jurnal Nasional, Suara Karya, Koran Tempo, Kompas, Majalah Sastra Horison, dan antologi bersama Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010. Buku Antologi puisi pertamanya lahir dari penulisan bersama rekan sejawat di Komunitas Bunga Matahari yaitu Maulana Ahmad dan Inez Dikara bertajuk “Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan.” Selanjutnya, melahirkan buku puisi sendiri berjudul “Gelembung” yang dicetak terbatas. Baru tahun 2014 kembali melahirkan buku puisi berjudul “Liburan Penyair.” Tahun ini puisinya masuk ke dalam antologi bersama bertema Sungai, dan masuk pula dalam antologi Dewan Kesenian Banten dengan puisi bertema Maritim. Saat ini sedang berencana menerbitkan kembali buku puisi yang sementara diberi judul “Pengungsian Suara.”

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Ada sekitar 10 ilustrasi atau lukisan di buku ini. Terbanyak di bagian awal (Beberapa Cerita Dinasti Han), dimana satu puisi satu ilustrasi. Adapun bagian kedua cuma satu saja, yaitu di halaman judul saja. Begitu.

Gracia Asri: HAMPIR AKU TETAPI BUKAN

May 04, 2018 0 Comments

image

Data buku kumpulan puisi

Judul : hampir aku tetapi bukan (almost me but not)
Penulis : Gracia Asri
Cetakan : I, Maret 2012
Penerbit : Koekoesan, Depok.
Tebal : xi + 133 halaman (65 puisi)
ISBN : 978-979-1442-57-2
Foto cover : Gracia Asri
Foto cover belakang : Narizza P. Septianti
Tranlater : Gracia Asri
English Editor : Maria Parera
Grafis : Nining Stanza
Pengantar : Damhuri Muhammad

 Sepilihan puisi Gracia Asri dalam hampir aku tetapi bukan

Politically incorrect

sayapmu mencair
dan aku mengumpulkan setatap demi tatap
memahatnya lagi ke punggungmu
sampai aku kembali menjadi rusukmu


Dipikirkan nanti

ketika aku gagal melemparkan diri padamu
yang sejarak satu tarikan nafas
aku meledakkan diri seperti bintang
demi sinar yang bisa sampai jauh
mencegatmu di ujung hembusan


Reparasi jam dinding

Apakah saat bisa ditepatkan
Karena tiga puluh detik terasa begitu lamban
Tukang jam yang lupa waktu bertanya
Berapa umur hatimu?



Diaspora
diserbu kupu-kupu serbuk-serbuk berpijar dan kau menjadi penemu dimensi ketujuh

Laporan pandangan mata seekor anjing
di antara biru dimana kedalaman indah memutus nafas dimana venus melukis di dinding putih dia menunggu taksi antar galaksi
santorini 2008

Gardu pandang
gunung putih memoksakanmu dari raga lalu lubuk hatimu memeluk tebing serta merta hangat salju mengundangmu makan siang
gemilang yang kutinggalkan pada kekalmu adalah mempersuakan dirimu dengan khayangan
Jungfraujoch 09.08.10

Anastesi
menapak dalam sunyi nun jauh didaki menuju suwung selamanya boleh sirna untuk sesaat hidup yang meluap

Moksa
mayapada berkilau, mendekat pada matahari gunung putih memoksakanmu dari raga lalu lubuk hatimu memeluk tebing menyentuh bahagia di ufuk biru alkisah, kamu bukan tubuhmu
Jungfraujoch Swiss 2010

Tentang tinggi
gravitasi berwarna kopi mengapa jatuh dan bukan terbang mengapa atas ada di bawah sana

Ujian filsafat anak smu di perancis
apakah seni mengubah kesadaran kita akan realita? apakah mengenal orang lain lebih mudah daripada mengenal diri sendiri? dapatkah persepsi diajarkan? apakah ada cara lain selain pembuktian data untuk menunjukkan kebenaran? bisakah kita menginginkan untuk memiliki tanpa menderita? aku tidak lagi bisa bersembunyi di balik tirai.

Kolam Ikan
telanjang menghadap alam senja tidak selalu berwarna jeruk
langitkah yang berkaca pada telaga atau telaga yang memeluk awan
rasa sepoi dingin menumbuhkan hati sampai bersinar seperti kelip bintang sejauh sejuta cahaya
diam tak pernah bisa terlalu lama ketika pohon berlumut mendekap selamat pagi
kilarney, Irlandia, 17 agustus 2011

Migrasi dari bibir ke puisi
Berapa kardus yang kamu perlukan untuk mengemas dua belas tahun asap dan lima cangkir kopimu setiap hari? Aku mencarikan tali, perekat plastik hitam dan tiga puluh empat lipatan. Kapan putih telur atau butiran nasi bisa melekatkanmu utuh kembali? Seujung lidah aku menunggumu, dengan tiket pesawat di saku pantatku.

Requiem
mereka sudah berangkat dari tubuh dan dua puluh empat kerbau ikut mengantar aku yang masih pada tubuh ingin ikut merasa, merasa melambaikan tangan. lalu rumah-rumah bertanda tanduk menyampaikan kediaman ayam jago bertengger di jendela, berkokok selamat berangkat tubuh yang tertinggal tertanam di tebing-tebing tinggi saksi hidup seribu tahun aku menghormat pada tanah dimana semua orang menjadi raja ketika ia berangkat dari tubuh
Toraja, ketika tahun 2009 berangkat

Permadani terbang
teluk Bhospore masih bertalu memantulkan suara adzan dari masjid-masjid beribu kubah merah adalah kebahagiaan hati, warna jeruk adalah keriaan hidup yang harus diperas untuk menikmati manisnya sepatu-sepatu berkilat memanjakan kaki yang berjalan pada peradaban di balik menara perempuan berkudung hitam berjalan gegas, asing pada dunia bukan milik mereka dan medusa merah jambu mengapung seperti tanya
Istambul 2010

Berpayung di bawah air
mengadakan diri adalah menangkap gema jatuh memandang semilir embun berlalu merasa degup bumi di tanah basah mendengar pelangi berjongkok di bawah awan menghirup irama putih biru beriak ketika aku ada maka aku menghilang dalam alam
montmorency quebec, canada, 4 juli 2009

Czech me out
melanglang hawa praha pivo radegast* laguku berperahu menembus kota kafkamu pivo gambrimus* dinding tua berhantukanmu menggemakan mozart pivo velvet* tolong bukakan kastil hatimu berpintu besi pivo zlatopramen* seribu tahun dalam sepi terhunus pivo pilsner urquell* cahayamu gelap masih juga berteater fantastika pivo krusovice* kerikil kangenku menggothique pivo branik* gereja baroque menari di atas ulu hatiku pivo zubr*
Mengapa kau hilang sayang….
*merk bir ceko

Tentang Gracia Asri Gracia menghabiskan masa kecil di Yogyakarta, menyelesaikan studi sastra Prancis di Universitas Gadjah Mada. Ia tinggal di Paris untuk mengambil master on decentralization and territorial management tahun 2003. Novelnya Place Monge dan Sesiang Terakhir.

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Antologi puisi dwi bahasa. Indonesia dan Inggris. Puisi berbahasa Indonesia di sebelah kiri (halaman ganjil) dan Puisi berbahasa Inggris di sebelah kanan (halaman genap). Puisi-puisinya pendek. Tak ada yang lebih dari satu halaman. Barangkali, untuk mengimbanginya Damhuri Muhammad menulis Sekadar Pengantar yang juga pendek. Tak lebih dari satu halaman, satu paragraf panjang. Begitu.

Burhanuddin Soebely: RITUS PUISI

May 04, 2018 0 Comments

image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Ritus Puisi
Penulis : Burhanuddin Soebely
Cetakan : I, Oktober 2017
Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin
Bekerjasama dengan Panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan XIV Kandangan 2017.
Tebal : xii + 66 halaman (40 puisi)
ISBN : 978-602-9864-69-4
Editor : Aliman Syahrani
Layout : Pustaka Banua
Desain sampul : Kayla Untara
Prolog : Aliman Syahrani

Ritus puisi terdiri dari 2 bagian, yaitu Ombak dan Pantai, Sajak-sajak 1982-1987 (20 puisi) dan Ritus Puisi, Sajak-sajak 1992-1999 (20 puisi).

Sepilihan puisi Burhanuddin Soebely dalam Ritus Puisi

Sanginduyung

Kenangan Diang Malintang

mengalirlah air, mengalirlah air mencapai muara
meredamkan desau angin ke batu-batu tepi
gigir bukit sepi. Ingin aku berbisik:
telah berkembang Turun Dayang di hutan mainan
menjuntai seperti rambut panjangmu
sehabis keramas di atas lanting

jelang musim petik - ingin  aku damping
tapi aku tak tahu siapa yang membujuk
hingga begitu cepat kau tinggalkan ujuk
padahal kemarin malam bersintuh tangan kita
sambil babangsai di lantai balai

mega pun merah senja - pembaringanmu
bertabur kembang tanjung
berwatas sanginduyung

pecah harap gigil batu
rumput cuaca membisu

1982
Turun Dayang = nama anggrek hutan Pegunungan Meratus
Lanting = rakit
Ujuk = kamar rumah adat Suku Bukit
Babangsai = tarian pergaulan Suku Bukit
Balai = rumah adat/rumah besar Suku Bukit
Sanginduyung = bilah-bilah bambu yang ditancapkan di sekeliling kubur, ujungnya runcing mengarah langit, dimaksudkan penangkal makhluk jahat yang ingin mengambil mayat



Ritus Puisi
pada bari-baris Puisi kusaksikan berkas-berkas cahaya berkumpul kembali ke Keindahan dan semesta cuma sehembus nafas yang membagi-bagi diri menjadi cermin Keesaan
pada baris-baris Puisi kutemukan arasy di dalam hatiku kutemukan singgasana di akalku kutemukan sidrat di bentuk tubuhku kutemukan ruh di nafasku hingga aku mengerti kedudukanku yang Kau muliakan di sisi-Mu
duh, Yang Maha limpahi pencerahan di puisiku agar ketika orang-orang membaca segera bertasbih memuji-Ku
1994

Di Pagelaran Topeng
gamelan memburu sukmamu memburu langkahku langit darah mega mendung hilang wajah dipanggang terik mimpi. Kian jauh jalan dari garpa bunda kian suluh damar kian sayup sindin Kekasih
memasuki wilayah gaib, sinar putih cermin batu - kacakan  jajar topeng wajah-wajah asing tarian kehidupan - wahai, manakah wajah yang inti mana wajah bentukan puncak sunyi?
di tengah ayakan miring perlahan kulepas topeng kuhirup darah kehendak dan matahari -runcing  panah Janakaâ€" menghempas karang-karang rahasia timbunan makna
(duhai, mandikan aku, Kekasih agar aku pulang sebagai Aku)
1982 Sindin = suluk, sinden ayakan miring = salah satu irama gamelang/karawitan Kalsel

Opera Banjar
â€"Ma, kita ke sini membawa bahasa bunga kenapa bulan menggugurkan duri duka?â€"
ah, jangan berkaca di kening purnama, nak berkaca saja pada keruh air mata barangkali esok garuda penunggu kota jadi iba dan kita sempat mengais remah di sisi piringnya
kita adalah wajah berdaki yang luput menjemba jukung nang dikayuh baimbai keburu melaju memburu biru muara
kita adalah miang dermaga penunggu dapur balu yang dibungkus kain tambal seribu
â€"Ma, bandarmasih bandar tambat beribu jung adakah tersisa satu saja untuk kita? Nining Antih di bulan Sudah kian bungkuk punggungnyaâ€"
ah, jangan berkaca pada kening purnama, nak berkaca saja pada keruh air mata kita percayakan ketukan abadi di pintu langit pada zikir pertama Samudera
1985 jukung nang dikayuh urang baimbai = perahu yang dikayuh orang bersama, kayuh baimbai (kayuh bersama) adalah salah satu motto kebersamaan di Kalimantan Selatan Samudera = pendiri kerajaan Islam pertama di Tanah Banjar

Aku Cuma Punya Kata
aku cuma punya kata kuberi ia sayap untuk terbang ke rumahmu melihat tulisan-tulisan dan rahasia perbendaharaan
ia selalu pulang dengan sayap terbakar
aku cuma punya kata kuserahkan pada seorang tua minta dibuatkan sayap yang kukuh dan diterbangkan ke rumahmu
ia selalu pulang dengan sayap terbakar
aku akhirnya jera setiap kata hendak terbang kuikat dengan benang penyerahan
aneh, rahasia tulisan dan perbendaharaan-Mu terbuka sendiri
1993

Kasidah Cinta
dalam doa malamku, aku mencoba menafsirimu dan berguru pada tetes hujan yang bersunyi di rumah tiram sebelum menjelma mutiara
dalam doa subuhku, aku mencoba menafsirimu dan berguru pada embun yang membisikkan rahasianya di rajah daun
dalam doa siangku, aku mencoba menafsirimu menangkapi isyarat-isyarat mercu bahasa purbani kerdip matamu
sungguh, aku mencintaimu itu sebabnya aku tak pernah selesai menafsirimu
1997

Membaca
bacalah! dan aku pun mengeja berulang kali, menapisi keterbentukan dari aksara yang kautinggalkan. Tapi aku tak bisa membaca karena setiap kueja aksara masih ada bersisa
bacalah!
dan aku pun mendaraskan nama-nama, menyuling keragaman dari bayangan yang kauciptakan. Tapi aku tak bisa membaca karena setiap kudaraskan nama masih bersisa
bacalah!
dan kau pun meletakkanku dalam cahaya, sehingga aku jadi tahu: aksara akan membuta jika pembaca  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚   Â Ã‚ Ã‚  dan yang dibaca masih ada antara
1996

Kasidah Diri
sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir kusiapkan lagi perburuan. Barangkali untuk menjaring matahari, barangkali untuk memanen khuldi atau barangkali tidak untuk apa-apa lagi
kekasih, mengapa di kesucian pipi kaugerai lagi rambut hitam itu? Padahal dini tadi berulangkali kumaklumkan inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil̢۪alamin
sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir di atas lari kuda kulepaskan kendali. Bukankah aku cuma petak tanah tempat kaubermain tali?
1999

Kasidah Walau
walau berabad sudah kita bertangkap lepas takkan bisa aku mengenalimu kalau kamu tak mengenalkan dirimu
walau berabad sudah kuasuh rindu takkan bisa kita bertemu kalau kamu tak menghampiriku
walau berabad sudah kubasuh hati takkan bisa sampai ke inti diri kalau kamu tak menyucikanku
1999

Tahajud
selaksa damba dalam susun jerigi menyilak watas rahasia. kau-ku ketemu dalam ruang muat berdua, menjalani wicara di ketelanjangan dada, berlapis sutera
tak kutampak semi dan rindu di palung matamu tapi aku ingin damping selalu, bertangkup dada berpiuh rasa, sama menepis sangakala purba
selaksa damba dalam susun jerigi berkayuh jiwa berlingkup cahaya. Wahai, janganlah berujung kebersamaan kita, kendati nanti kaubalik dunia
1985

Pada Sebuah Pelayaran
pesona lautlah yang membujukmu melepas perahu dari tiang tambat dan menorehkan nama ke dermaga tanda pernah di sana. Selebihnya cuma janji akan kembali bila terompet lokan berbunyi
sebagai anak ombak kau pun merasa mengerti bahasa laut ganggang berayun, pasrah dalam zikir camar berkepak, cemas dalam zikir badai menghempas, gemuruh dalam zikir karang menggunung, kukuh dalam zikir
tapi laut tak cuma memeram badai tak cuma menyimpan karang. Seribu peri berjuntai di akar malam nyanyinya begitu memabukkan dan membuatmu membuang pengayuh, berlabuh ke teluk orang usiran
suatu senja orang tak berwaktu menikammu di ujung nafas melintas dermaga lama hitam dirajam batu-batu langit dan ketika telingamu menangkap suara terompet lokan kau tak lagi punya pilihan
1995

Dalam di Dalam
dalam di dalam diam, berapa banyak tersimpan rahasia kata? Terbentang jalan terkuak sawang bercakap kau-ku di keabadian kelindan
adakah kenikmatan lebih yang lebih dari cakap diam dalam sungkam?
dalam di dalam sungkam, tak ada lagi jarak kau-ku. Berangkap hati bertaut jari simpul tali sisal ke tunggul jembatan
adakah kedalaman lebih yang lebih dari nyusur jalan dalam damping?
dalam di dalam diam, dalam di dalam sungkam sirna cuat duri salak. Di bening mata telaga terkaca rumah janjian. Di dalamnya kita
kekasih, sempurnakan lidahku mengejamu dalam luka di saat pemburu itu mengkuku dada
1987

Hari-hari Larut
hari-hari larut dalam jam kabut dan kau pun bertanya tentang Negeri Cinta (barangkali karena malam bulan mati Barangkali karena siang terik sekali) selebihnya cuma doa membilang Nama-Nama
hari-hari larut dalam jam kabut dank au pun beramsal tentang Negeri Asal (barangkali karena tapak tak berjejak Barangkali karena rimba membelantara) selebihnya sungai air mata membisikkan rahasia luka purba
1996

Lagu Sangsai
(kunang-kunang di utara mengisyaratkan malam hampir tiba)
sudah saatnya mengubur kapak dan gendewa, membawa zirah Adam ke Kutub Cinta. Tapi miang cuaca menjadikanku tawanan keinginan di atas kuda yang mengidam rumput bulan - kelaparanku, Tuhan  Â Ã‚  tak pernah puas  Â Ã‚  dengan piring di pintu-Mu -
(jika perpisahan kita jadi jalan ke dekat-Mu harusnya sempurnalah kesukaan pada hampa)
begitu penuh jam-jam bimbang pun embun menyembunyikan rahasianya hilang-hilang di daun-daun
kujelajahi lagi kota-kota dan terkesiap:  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  semakin lelah kepak sayap kupu-kupu  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  semakin rimbun bunga-bunga
1992

Tentang Burhanuddin Soebely Burhanuddin Soebely lahir di Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalsel, 2 Januari 1957.  Sempat kuliah di Fakultas Teknik Sipil UII Yogyakarta namun tidak selesai. Tamat Fisip Universitas Terbuka jurusan Administrasi Negara. Bekerja di dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kumpulan puisinya Patilarahan (1987) dan Ritus Puisi (2000). Novelnya Reportase Rawa Dupa, Seloka Kunang-kunang dan Konser Kecemasan
, merupakan pemenang II Sayembara Cerita Bersambung Majalah Femina tahun 1997, 1998, dan 2001. Menulis skenario sinetron di TVRI, menulis dan menyutradarai film Matahari Samudera (2006). Juga aktif menulis naskah teater dan menyutradarainya bersama komunitas teater, Posko La-Bastari. Menerima anugerah budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2010. Meninggal 28 Mei 2012 dan dimakamkan di desa Asam Cangkuk, Kandangan.

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Aliman menulis pengantar yang dijudulinya Purama Pancalatun (hlm. v-vii). Di tulisan ini terungkap bahwa puisi-puisi ini sudah dalam bentuk naskah utuh berupa buku yang diprintout dan dijilid sendiri secara manual. Di balik cover ada tertulis Dewan Kesenian Hulu Sungai Selatan sebagai penerbit, dengan edisi cetak pertama adalah bulan Januari tahun 2000. Dus, tanpa ISBN tentu.    Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Halaman persembahan bertulis: Buat Pejalan Rindu dan Penyujud Cinta. Dan pada bagian belakang buku ada Burhanuddin Soebely dalam Memoar Penyair Kalsel (hlm. 49-62), yang berisi sekitar 28 komentar.