Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Riki Dhamparan Putra: MENCARI KUBUR BARIDIN


image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Mencari Kubur Baridin
Penulis : Riki Dhamparan Putra
Cetakan : I, September 2014
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : x + 137 halaman (55 puisi)
ISBN : 978-602-71421-0-7
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi : Frame-art
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : M Yusuf Siregar. Ironi II, 2007, 117 x 97 cm

Sepilihan puisi Riki Dhamparan Putra dalam Mencari Kubur Baridin

Cerita Sungai

Di dalam hidup yang singkat
Selalu ada sebatang sungai panjang
Dihuni oleh seekor naga raksasa
Penyu keramat
Dan katak pelangi yang abadi

Airnya tak tercemar
Delta-delta tidak rusak
Padahal abad-abad yang melaluinya
telah pada binasa

Begitulah hingga nanti ketika kiamat datang
Sungai ini mengambil tempat
di dalam harapan manusia
kepada surga yang dijanjikan untuk para budak
dan orang-orang saleh

April 2008


Cerita-cerita dari Padang Gembala

belimbing,

bocah gembala itu
susah payah ia memanjat pohon belimbing
dari batang menggapai dahan
menjangkau buah di ujung ranting

di mana rembulan padang
di mana kampung seberang
di tikar pandan mengukur diri
mengikat ruh dengan janji

lihatlah keningnya sampai hitam
ceruk matanya tersuruk
bagai pusaran tersembunyi di bawah
lubuk dalam
namun ia sendiri merasa semakin dangkal
sepanjang hari berzikir
bayang tidak menemu badan

tak seorang menyapa
ketika ia turun dengan tangan hampa
tak seorang menuntun
ketika ia kembali naik
ke pohon yang sama

ada terdengar dedaun gugur
temanten anyar
terkulai lemas di tempat tidur


kerbau,
ke sungai jernih tanpa isi kepala si buyung memandikan kerbau yang tak mau mandi karena tak tahan berdingin kerbau itu mati
tergugu-gugu si buyung pulang airmata tak terkubur air sungai yang jernih ia sesali sepanjang umur
hingga matanya buta
katak,
seseorang sedang membuhul masa lampau untuk menjadi katak katanya untuk mengikat kata
maka jadilah orang itu manusia pertama di bulan
burung pungguk,
seekor burung pungguk telah tenggelam di laut tak berair tapi tak binasa hatinya yang gelap bahkan terus menyigi lazuardi
seorang nelayan menemukannya tapi nelayan itu tak pernah lagi kembali ke rumah
jalan lurus,
pada titian serambut dibelah tujuh kamu lah sehelainya menatih tapi juga ditatih mengejar dengan tangan dan kaki terikat di tiang hakikat
jangan memaksa diri kamu tak akan menemu siapa siapa di seberang sebab kamu lah yang ditemukan pada saat itu lupakan pintu rumah
demi Sang Tuan

sebutlah Ia Paduka kata terindah yang pernah dicapai leluhur serulah Ia dengan suara ayunan cangkul di tanah keras tanah lumpur tanah kapur tanah subur di akar dari segala jejak yang lurus menuju aras
Ia ada di sana saat engkau baru saja ingin naik ke bukit bukit atau pun saat tersesat di lembah lembah curam tanpa tangga bahkan bila engkau tak sanggup lagi berdiri Ia akan memberimu sepasang kaki
lebih kuat dari darah dan tulang belulang mengangkatmu serupa parasut tiada pautan
tak ada misal yang sempurna buat menerangkan hati kepadaNya sebab Ia bukan misal dari apapun di alam raya
Mei 2009

Jalan ke Tilong
Pada jejak yang pulang Aku tinggalkan untukmu jalan ke Tilong yang sunyi Pohon tuak seratus tahun dan wangi gula air Bocah-bocah berbahu kayu tertatih-tatih memikul derigen air
Aku tinggalkan juga sepotong senja purba Bukit-bukit hantu Dan jurang-jurang yang dalam Di tempat mana Pah Nitu bangkit serupa larung yang memanggil-manggil di ambang malam
Ia begitu dekat Dan mungkin ingin mengambilmu Namun ia tak memiliki jalan Ibu Tua di langit telah mengikatnya di tempat-tempat pemujaan
Maka datanglah kepada angin kepada debu datanglah kepada yang memiliki isi kebun dan bendungan kepada Pah Tuaf yang mengirim badai dan penyakit kepada Ibu Tua dan Ama Tua yang berdiam di langit paling tinggi
Apa kamu masih menanam padi dan jagung Apa kamu masih menyadap nira Atau mungkin kamu marah kepada hidup yang tidak adil Adukanlah semuanya Peluklah pohon Menyanyilah di pucuknya
Kasih bumi tak berhenti Pada jejak yang pulang ia menemanimu bersama roh orang mati
Kupang, April-Mei 2008
Catatan Kaki - bendungan Tilong terdapat di desa Oelnasi, 10 km dari kota Kupang. Diresmikan tahun 2002 oleh Presiden Megawati. - Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) dalam kepercayaan Suku Dawan, Kupang daratan, NTT. - Uis Pah bersama Pah Nitu diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung. Mereka juga mengirim penyakit dan badai dan merupakan penghubung kepada kekuatan tertinggi Uis Neno. - Ama Tua dan Ibu Tua, diyakini sebagai representasi dari Uis Neno dan Ena Neno atau Tuhan Langit. Dalam mantra pertanian suku Dawan, Uis Neno ini kadang disebut dengan kata Ama Neno (Ayah Tua) dan Ena Neno (Ibu Tua).

Memasak Daging Kurban
Hari yang gemilang. Biarlah hari ini tetap diingat sebagai hari yang gemilang Hari daging dan belanga Aroma pandan dan jeruk nipis membasuh amis bau udara
Hari ini aku membaringkan sajak-sajakku di antara hewan kurban Sajak-sajak manis dan sedih Sajak-sajak yang pilih kasih. Aku menjagalnya. Dengan ridha Tuhan aku mengembalikan darahnya kepada rumput dan sari tumbuhan kepada tanah dan air kepada cahaya
kepadaMu yang memiliki semuanya Berilah sajakku jalan Biarlah ia mengepul serupa sup hangat di meja makan Ia ingin menjadi bagian dari keluarga Menjadi nenek, menjadi burung kakak tua. Sajakku ingin tertawa ia ingin bahagia dengan gigi palsu yang telah lama menggigitnya
O, berilah kesempatan. Kukuslah anganku dengan uap daun di dalam dandang biar ia wangi biar ia padu menjelma getah dan tepung pisang berilah pula lidah berilah pula sepasang tangan indah biar ia peka mencecap biar ia menghidang buat seluruh penghuni rumah
Bila ada tetangga datang Bila datang penagih utang Biarlah sajakku melunasinya dengan sebait janji lagi : sajakku tak akan lari! Ia akan berdiri di pintu depan Menunggumu dengan sepotong penganan ringan sebilah pisau dan mata bulan
Sajakku akan bersulang Ia akan semerbak bagai mawar yang menghilang dari jambangan Mawar yang telanjang
Bila suatu hari sajakku pergi jauh meninggalkan kampung Bila suatu hari sajakku letih mendaki gunung-gunung Biarlah aku pasrah padanya Biarlah aku dikembalikan serupa sungai-sungai mengembalikan bayi-bayi kepada Ibunya bayi-bayi cinta bayi-bayi yang sempurna karena derita
Atau aku akan turun ke sumur dalam di tengah hutan yang di dasarnya seorang bocah nyaris beku menunggu pertolongan
Dan bila musafir itu tiba Sajakku tinggal rangka Nyawanya telah diambil untuk menebus impian para pendeta
KepadaMu yang mengunci dan membuka seluruh rahasia Sajakku telah kukorbankan Darah dan dagingnya telah kubasuh dengan penyesalan Seperti Nabi Yunus Bernafas dengan insang ikan-ikan
Kini ia memohon ampunan Terimalah usianya yang tua
Ribuan tahun sebelum Babylon dan Mesopotamia Jutaan tahun sebelum Kaisar Cyrus menegakkan tiang-tiang istananya Sajakku telah menjadi kubur yang terjaga Ia mematahkan sayap burung gagak Menebus kematian dengan mahkota di jambul si burung merak Seorang pemburu tak bisa mendekatinya Karena seorang pemburu adalah pencuri Sebelum sampai Ia akan diterjang oleh panah-panah api yang dibawanya sendiri
Dan di malam kelam Sajakku kadang datang seperti angin di tingkap Mengetuk pintu dan kaca lampu Menghembuskan harap yang telah padam Kadang aku mencarinya di jaritan benang pada tikar pada bayang-bayang bunga di sarung bantal Namun aku tak pernah dapat menemukannya Aku hanya bisa mendengar suara hatiku sendiri  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  yang masih belia Tidakkah sajakku yang meronta seperti Ismail kecil di tengah gurun pasir Ketika di antara Sava dan Marwa Budak hitam yang mulia itu berlari-lari mencari sumber air? Sajak telah memberinya telaga Dari kasih yang kudus Rahmat yang tiada putus Sajakku, wahai Engkau Terimalah di tempat yang terbaik Buatlah ia putih seperti kain kapan penutup badan Ketika di hari yang penuh berkat cinta disempurnakan dengan bakti dan pengorbanan
Kalau di sini suara hujan masih tersedu Kalau di sini bumi masih merintih untuk melahirkan seorang yatim piatu
Biarlah sajakku menjadi Ayah Ibu.

Maka biarlah terus kuingat, biarlah terus kucatat. Di hari yang gemilang ini aku merindukan semua yang pernah diberikan sajak kepadaku; sekilo daging di belanga, santan garam, aroma serai dan daun kunyit menimbang amis hidup kita
Semoga menjadi nikmat, semoga menjadi berkat.
Denpasar, 2007

Misal Kau Dirah : sebuah prolog
Di Daha, suatu malam  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Sesudah lewat bulan mati Yang susut padamu akan sumringah kembali
Datanglah kepada Dirah Bawakan untuknya seorang lelaki Dari Rinduku sehelai rumput yang bersujud setelah lelah menanggungKu. Ia tak suci Tapi di tangisnya Aku turut tersedu Dan dibisikbisunya segala suara Adalah nyanyian kepadaKu
Di dalam ranselnya bekalmu Kuisi Dipejam matanya jalan-jalanmu akan Kusuluh Kuterangi
Bawalah ini Kamu diutus!
Kirab, Kutinggalkan diriku Kumasuki sebuah pintu sempit di sisi sayap yang akan membawaku ; sebuah mesin terbang darurat tapi tidak menggunakan avtur dan tombol penekan udara ada hanya sebuah koordinat yang dipandu oleh sepasang tangan hampa. Aku terangkat
Tidak! Akuk hanya melihat diriku luluh ke dalam sebuah talang cahaya Ruang mengirab Aku tak tahu lagi siapakah yang ada di dalam siapakah yang tengah menunggu di luar sana
Kutub ini dingin dan mati Tapi aku mendengar degup di mana-mana bunyi nafas, gelembung darah, air tulang, berpadu dalam suara koor senyap yang tak terukur kata-kata Tak terukur waktu Tapi mengikatku dalam suatu garis lurus di jantung perjalananku
Aku letih sekali ketika mendapatkan diriku kembali ; sebentang samudera burung-burung menunda buih di batasnya
Tak ada matahari Ada hanya sebatang geretan kayu yang juga letih menunda sisa api Dan siur angin melemah Di kedap itu juga segala amsal tentang asal menjelma layar yang segera akan musnah
Tinggal nir saja. Sebuah kuil tiram Di mana diri hanya jejak yang hapus terkukus air garam
Sementara itu di Dirah, Tanah terlanjur busuk Tamu-tamu tak dikenal menyelusup ke gubug-gubug penduduk
Mereka tak seperti serdadu Tapi di ransel mereka ada seragam Dan di gulungan kertas yang mereka bawa sejumlah nama dicoret lalu ditambahkan setiap malam
Setiap malam Tuhan! Tahun apa ini? Sepertinya orang-orang tak akan berhenti Setiap orang seakan baru saja menerima diri mereka terhubung pada sehelai tali pusar terbungkus oleh rasa takut dan lapar yang asal Setiap orang kini memasang bandul besi di seluruh pintu dan jendela dari tempat mana mereka mendengar suara kulit tebu dikelupas seperti bunyi sembilu yang baru saja ditarik dari daging di leher kelian, sepupu, anak, pendeta, suami dan orang-orang yang menyayangi mereka
Setiap malam pula sejak ini Setiap orang harus membuang seikat kayu api ke dalam hatinya menyulutnya dinihari membiarkan puntungnya tetap menyala hingga pagi tiba hingga siang dan senja kembali datang sepahit biji kopi yang masih dijemur walau tak pernah ada cahaya
Ini adalah musim Di mana setiap orang harus pasrah memendam mata padi yang terluka di batangnya Di sebuah tahun yang patah Jejak-jejak menggembung serupa kubangan lumpur Semak-semak menitik darah Koak gagak dan pekik murai melarung di kisi-kisi daun gugur
Amis sekali Periksalah! Sumur-sumur itu ditutup karena berisi orang mati Setengahnya mungkin masih hidup saat dibenamkan Cobalah gali! Gali yang dalam! Siapa tahu di bawahnya ada sebuah lorong sebuah jalan keluar
Tapi tanah terlanjur busuk Di lorong yang mereka temui orang-orang tak pernah ingin mendapat petunjuk Mereka bahkan tak pernah keluar
Dihadang Para Pengawal, Aku terangkan padamu si guyang Kami kira dia menari Bukan! Dia begitu karena dia tidak mempunyai pijakan Padahal ia sangat berat Dan baju yang ia kenakan tidak mempunyai badan untuk melekat
Kamu kira dia apa? Dia hanya seekor jaran rongsokan Kulit kering yang dipacu di atas nafsu dan lamunan Ia kira ia ke utara Padahal ia ke selatan Ia kira ia memberi cinta Padahal yang dibawanya itu penyakit dan kematian
Begitu pula si elang laut, si gayung tua, si rambut jarum, si palasik, si tinggam api, si sirampeh, si biso-biso… mereka ini mambang bayangan kosong dari seutas benang yang sangat panjang benang gaib penciptaan
Tapi kamu telah mengasuh mereka Membuat mereka ada dalam ketiadaan mereka Seolah kamu ini Tuhan dari segala yang bernyawa Tidak, Rangda! Kamu ini hanya segumpal darah yang marah Di relung kasihmu seorang lelaki terkunci Hanya karena dia pernah berbuat salah
Janganlah begitu eluarlah! Sebuah maaf telah menantimu seperti sepasang matahari di balik awan basah
Tak diceritakan ada perang Aku Meminang, Akan begitulah Dirah itu, Rangdaku Terimalah Airmata tak pernah cukup Kematian bukan satu-satunya jalan untuk sampai ke akar hidup Sudahi semadimu Kita sudah malam Tak perlu lagi membuat sesaji dari sekam Tak perlu lagi api
Maka beginilah, Hadijahku Aku meminangmu
Aku buatkan lagi untukmu seorang Ibu dari nafasku sawah ladang yang luas hutan-hutan dari beburung yang terbang lepas
Bila kelak bayi kita lahir yatim tanpa diriku Atau piatu tanpa dirimu Sebuah kitab akan menjaganya Seorang Ayah! Seorang Ibu dari kasih kita!
Diselesaikan di Denpasar, Maret 2006

Lara Jongrang
/1/ menjelang subuh akan kau lihat keajaiban lelaki
Sekeping candi tertunda Sisanya luluh dicela Dara Yang tak berdosa Tapi tergesa memohon fajar tiba
(dini hari ilau dendang dan tangkup lesung gaduh memukul biji padi seisi desa bergegas kukuk ayam melepas cemas ke tapal batas
waktu tertipu 999 mukjizat sirna bagai debu terhapus bagai jejak yang musnah di pucuk kering batu-batu
tak ada yang keseribu ada hanya setitik api kandil yang ganjil yang menggigil tersihir desir tanpa siasat! dan kutub-kutub penuh lampu tersesat di bubun abad penuh cacat
seperti kutu menyesap di darahku bersembunyi di balik kutuk yang membeku di lempeng bisu masa lalu masa penuh prahara di mana sajak-sajak adalah nasib yang dikacip tanpa perlu menulis nama)
Tapi lelaki adalah sepotong jimat yang keramat Tak pernah terlambat
Walau nestapa Ia tak perlu kawah-kawah untuk memendam dendam duka Tidak juga sebuah armada perang yang akan menyerbu di subuh buta
Ia hanya perlu sebilah pahat tajam sekeping gerinda dan jantung timah yang tidak rontok terpukul palu godam
Sisanya ampelas, sebatang paku tembok dan mata padas terbungkus di selembar kain bersisip benang emas
Ia mencipta! Lempung mati candi-candi berdegup kini Tak tertunda
/2/ Aku membuka upeti: sepucuk surat! …Seorang kacung telah menyobek selembar babad Mukanya berseri Dikhayalnya para gundik berdandan Menantinya dalam tirai bulan bersulam dingin awan
Semua jadi putih Bayang-bayang jagat yang kosong kini terisi kisah-kasih
Ia menulis asmara : sebuah kekuatan! kavaleri dan infanteri menyerbu di garis depan yang melawan itu musuh yang lemah itu tak punya pilihan kecuali mundur atau terbunuh
Inilah asmara : gadis-gadis ditawan pajak-pajak dipungut di sepanjang negeri taklukan Tapi inilah juga khayal yang lara Babad antik khatulistiwa : pulau-pulau bungkam gunung-gunung tidak memberi batas pada kesedihan
Huru-hara di mana-mana!
/3/ Mayapada Dari siapakah mayapada Dari siapakah para leluhur mendapat wangsit untuk lenyap bersama abu turunannya?
Dinding langit tak tertembus Oase demi oase terkubur di gurun-gurun tempur yang tandus
Para prajurit tak kembali Tidak juga berkirim pesan Tetapi istri-istri yang tak lagi mereka sentuh terus mengidam harta rampasan
Anak-anak gadis bunting Terak-ternak yang juga hamil berkubang di bekas-bekas sumur yang telah mengering
Hingga penuh bilangan bulan Mereka bersalin sendirian menjerit-jerit serupa bayi yang dikunci di peti-peti kayu yang akan dihanyutkan
Sungai-sungai tercipta Payau-payau bakau mengenang hijau di kening angkasa Tebing-tebing cemas Makhluk-makhluk air tergamang di kedalaman tak berbatas
/4/ Bukan aku menulisnya Bukan juga aku yang mendadak haus ketika segalanya pupus dan hidup terlantar seperti dongeng pasir yang meletus di puncak-puncak kudus
udara mengeram tambang-tambang sulfur mengeras menjadi kerak-kerak logam Bukan aku menisiknya Bukan juga aku yang menebar rusuh ketika para penambang itu mulai berbunuhan berebut mendirikan kemah di atas benteng-benteng yang telah ditinggalkan
Bukan juga seorang dara Tapi kabut hitam! Gelombang panas yang menyusup bersama candu melekat di urat malam demam
O, ia menggirik nyawa Padahal ia bukan kumbang Dan sayapnya fana mengepik terik alang-alang
Desember, 2005

Limang
Selamat datang kepada saat yang belum datang Limang emas yang mekar dan tujuh lapis lipak sutera Akar mayang yang gatal berlimpah getah dan minyak bunga
Sehari itu tak ada kumbang dan kupu-kupu Juga wangi madu Angin tak lagi liar dan di laut letih Camar-camar menjelma buih yang tergetar saat aku melemparkan tali jangkar : engkau kuterima. Bismillah
Tidakkah akan demikian kelak Kapan aku menemukanmu pada pucuk-pucuk layar yang terisak melamunkan akhir ombak?
Sehari ini kita diarak bagaikan cermin yang gemilang Jalan-jalan berhias Bawakaraeng dan Lompubatang mengulur pinta ke bawah Aras
Dayang-dayang mengembang payung Riang salawat dan kelong dendang menghapus luka orang sekampung Tak dapat kulukiskan selengkapnya Tamu-tamu datang dan pulang Aroma beras dan gula kelapa bercampur harum kue serikaya
Bau kemenyan dari tengah ruang Datuk-datuk yang keramat sedang bicara lewat sedah kapur dan sirih pinang
“Ini semua untuk mempelai yang bahagia. Malin Kundang yang gagah Putri Nakhoda yang jelita…”
Sehari itu, sayangku Langit membuka rahasianya yang paling dalam Di bantal kapas yang lembut Sepasang jiwa berpelukan menidurkan letih impian
Kekallah di sisiku Aku telah mengancing giwang baju mencukur rambut menyarungkan badik di sebilah gading membiarkannya  dingin dan terikat pada bayang-bayang tiang yang menunduk ke bawah hening
Di situ juga aku membungkus jantung rembulan Lalu menggantungnya tinggi-tinggi Seumpama jatuh atau tumbuh Tak guna disesal lagi
Maafkanlah aku Jika di ranjang kita tak ada erangan kuda-kuda liar Jika gegar musik dan gemerlap lampu-lampumu telah kutukar dengan sebuah lentera damar Jika pada laron-laron yang mengerebutinya ruhku ikut hangus terbakar
Aku menginginkan sedikit rasa hangat saja malam ini. Dari sisa candu yang mengisapku serupa asap dupa di persajian kecil Sebab begitulah aku ingin memilikimu sebagai api sebagai kunang-kunang dan kerlip bintang
Sekarang ini di sini baru ada sebuntal pakaian kusut Di paku dinding yang buram sehelai baju terbang tergantung ringan bagai parasut
Belum ada awangnya Belum ada udara dan tempat labuh Pun air Masih terkurung pada palung-palung gemuruh
Namun aku telah menggaraminya dengan hati yakin Membuatkannya selat dan kanal-kanal Melepasnya bersama ribuan burung laut yang riang menuntun arah kapal
Juni 2007 *Limang = Pelaminan, dalam bahasa Makassar. Puisi ini diilhami cerita Malin Kundang saat ia menikahi Putri Nakhoda yang berasal dari Makassar.

Di Kaki Merapi
sebelum ke surga singgahlah dulu di kaki Merapi…
Di Desa Kinahrejo yang sentosa Aku hanya seorang tamu biasa Datang ke pondok engku Marijan Seorang hamba sahaya Kaki tangan kesunyian
Aku serupa kertas saja di depannya Lusuh dan buram Badanku amis Ingatanku kumuh oleh debu kota Jogyakarta Dan isi dadaku Hanyalah gugusan sungai-sungai coklat yang menyusut di sepanjang tanah Jawa
Betapa aku limbah Betapa aku sampah Betapa pula semua itu harus tertegun di depan sepasang mata tua yang amat indah mutiara yang bersahaja tiram air kathulistiwa
Kadang kulihat ia bagai sepucuk keris murni besi kecil yang bersujud ke tapak bumi
warangkanya batu pualam gagangnya Khalik semesta alam
jika menusuk terlalu lembut jika membelah sehelai rambut
lekuknya langit yang tujuh tegaknya alif di batang tubuh
Tidak sembarang akan bersua Tidak sembarang akan utuh menggenggamnya Kulo tidak Ingsunpun tidak Apatah pula kodok yang banyak Maka maaflah kata yang lancang Mengusik jati di  rimba orang
Sebab kadang rasa kudengar ia memanggil Serupa angin serupa kabut Aku berdesir
2007

Tetap Kecil di Batur
Balai STA, Toya Bungkah Apa dayaku Batur begitu murung Tebaran mega Takdir menjelma larung di pucuk gunung
Tasik yang tenang ditinggalkan Zaman gemilang tiada kunjung didapatkan Apa dayaku
Di Yeh Mampeh, doa Aku masih ingin berkata-kata, Tuanku Jadilah lidah Ludahkan padaku luka bebatu yang menggumpal beku di lapis pasir dan pinggang bukit- bukit patah tambang-tambang liar lambung gurun yang gemetar menahan muntahan lahar
Agar kulihat rupa diri Agar tersingkap selubung kabut yang makin tebal menutup hati Aku ingin menimangmu di sini di tempat seperti ini bukan di tempat lain sebab di sinilah batas di sini diri hanyalah wahyu kertas yang tak utuh bernafas
wahyu yang tak benar ada tetapi aku telah menerimanya seperti seorang mantan sopir menerima jarak antara kemudi dan genggaman tangannya antara wajah istri yang masih tidur saat ditinggalkan dan kerling mata perempuan penghibur di bilik-bilik penginapan
Maka jadilah pegangan Tunjukkan padaku sebuah cara untuk berdiri dengan tubuh kayu membuat akar dari kesiur angin dan reruntuhan debu debu yang pulang angin yang pulang bersama mereka aku ingin menjadi nyala lampu merebut petang di ladang-ladang bawang
Bila pagi tiba Aku pun ingin kau ikut berlarian Menjadi alas kaki di telapak kaki kanak-kanak yang terluka oleh kerikil di jalan-jalan
Menapaklah Padang-padang belum terlalu payah Seekor dua anjing gunung masih melolong di hati penyair yang patah
Kintamani, Juni 2006

Lamahala
Jika penyair mati Laut ini akan dilupa bersamanya Misal pun punah Isyarat tak terbaca Sedang pulau pulau yang terik akan tampak seperti kuburan matahari yang terapung di tengah gelombang buta
Tak ada kemah peziarah Tak ada yang mengambil bunga dari batas pasir membuat jembatan dari gelembung di pucuk air
Jika penyair mati O, jangan sampai penyair mati Sebab dadanya adalah kuil kandil tempat bersuluh ikan ikan kecil
Atau dapatkah kamu mengikat selat dengan warna bianglala menjaganya di dalam mata bocah yang lasak menggaru seisi desa?
Di tanah mandul berbatu Ia buat anganmu bunting Ia teguhkan akarmu dengan fosil batu yang hening memagut tebing tebing
Ia kirimkan juga untukmu undangan pesta Lengkap dengan foto mempelai yang bergenggam tangan menaiki tangga bahtera Semua itu agar kau senang bersenang-senang selamanya
Tak hanya di Lamahala Di mana pun jika kau pulang Jika masih kau merinduku serupa musim yang tak sabar terbalut asap daging panggang
2008-2009

Cerita Petang
Tau tau sudah petang di Jakarta Apa mau dikata Walau sedih baiklah diterima saja
Toh, apa yang patut telah dilakoni sepenuh hati Usia telah ditebus dengan kerja Kerja dengan cinta Cinta dengan cerita Bila alurnya kusut dan endingnya patah Janganlah terlalu merasa bersalah Mungkin cerita sedang mencari benangnya sendiri Dan kalau buhulnya kasar Dan kalau isinya hambar Baiklah dimaafkan Lantaran kisah ini bukan lagi tentang manusia Tapi tentang alamat Tertulis pada sampul kertas yang sudah tua dan cacat Ada gambar roda di situ Ada rumah sakit Ada pasien yang membuat kota dari lembaran-lembaran kulit
Jakarta, 05-09-2013

Di Bawah Patung Ina Boi1
Tataplah dengan mata yang tertutup Semenit lalu di Kupang Seorang gadis telah menjadi patung demi sebait puisi Ruhnya melintasi karang dan pulau Hening mengendus bau samudera Menghalau riak ke lambung kapal yang diam diam memasuki teluk untuk mengambil kain dan bulu kuskus Tak luput kayu cendana Lengkap dengan gading dan nekara Alor
Orang kata kapal - kapal itu bertolak dengan hampa Sebab ombak mendadak ganas dan angin bertiup kencang Di daratan matahari Bilah gading dan cendana tinggal lamur dikenang-kenang
Nona tinggal nona Aku tak bisa meminangnya Sebab baru semenit lalu di sini kutemukan ia telah menjadi patung
Ruhnya menjelma air garam memberi hidup pada gugusan terumbu dan ikan-ikan
Tataplah dengan mata yang tertutup Di gurun luas yang panas akar-akar menembus kepingan batu Tangan-tangan lontar menenun peluh di tubuh ibu
Wangi gula di mana-mana Setiap hati musti telanjang untuk dapat merasakannya
Mei-Juni 2008 1Ina Boi, sebuah patung di wilayah Kupang

Batas Rantau
Ingin kudengar darimu akhir cerita
Hingga sikilang aie bangih ombak mengombak serupa ombak juga Hingga durian ditekuk raja buah durian berduri juga Di manakah ada buaya hitam dagu Di manakah sirangkak nan tidak berdangkang?
Ingin kudengar darimu ketika pulang
2004

Mencari Kubur Baridin dan Suratminah
/1/
kau masuki relungku
kau daki gigir bukit di punggungku
seperti memikul isi bumi dan isi langit
kau buat kasih
menjadi beban dalam pilu nasibku


Tapi aku tak akan jadi Baridin, kasihku
Karena engkau juga bukan Ratminah
Walau telah menyakitiku
Engkau hanya dirimu
: sebait mantra teluh
cahaya kilat yang menjejak
dalam kelam penuh gemuruh
meniupku
menipuku
mengikat nama di atas nama
yang terlarang di lidahku

Sebab bila aku paksa mengucapnya
sedih kembali tiba
kenangan akan gelombang pasang
makin menyintak isi dadaAku memang terluka
Tapi hari ini kupaksa diriku
untuk tak ikut melepas mantra
Puasa sakit hatiku kututup sudah
Kuda-kuda kaca yang menunggangku
telah kuhalau
ke kawah-kawah darah

Aku tak meninggalkanmu di situ
Karena bukan aku yang membawamu
Aku tidak juga sedang berpamitan
untuk kembali menjemput janji-janji
pun tidak untuk surat-surat
yang ingin kutulis bagi diriku sendiri
Kita tak pernah bertemu!
Itulah yang terjadi

Dan aku tak mendengarmu pergi
Seperti pula engkau
tak mendengarku berjuang
memaafkan diriku sendiri
Atau saat susah payah aku ampuni
arca-arca batu yang membisu
di jalan-jalan asmaraku
yang tak suci

Hati tak seperti matahari
Tapi cukup terang untuk menuntunku
di lorong panjang kematian ini

/2/
Kuburku kelak
adalah tanah yang sejati
karena berani mengubur kisah-kisah api
Para penari disucikan
Kubah-kubah dibangun di sepanjang petilasan

Aroma kemenyan menebar harum
Lawang-lawang memberi salam bagi mereka
yang datang memohon ampun

Tinta penyair menuju pulang
meniti huruf di sumsum tulang

Jiwa akan terus bernyanyi
Untuk mereka kelak yang tak sekali
akan menjengukku di sini

Sunyaragi, Februari 2006 *) Baridin dan Suratminah adalah cerita rakyat popular di Cirebon yang dibawakan dalam pertunjukan Tarling. Karena Baridin hanya seorang pemuda miskin, orang tua Suratminah menolak pinangannya. Baridin memlih jalan pintas untuk mendapatkan Suratminah. Ia menggunakan mantra Jaran Guyang dan melakukan puasa empat puluh hari agar niatnya untuk menggaet Suratminah terkabul. Di akhir cerita, keduanya gila. Masyarakat percaya, kubur Baridin dan Suratminah ada di Gegesik, Cirebon.

Kanji Asyura
/1/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya kita menangis
Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Kirimkan salam
kepada mawar yang terkubur
bersama lumpur
di lalaga

Mawar yang sentosa
Darah Husain yang semerbak di dalam wangi
seluruh bunga

Hari ini Asyura
Hari ini kita bergembira mengarak tabut
ke jalan raya
Menghoyaknya di pasir
Mengembalikannya pada kesucian air

Kalau badanmu luka karena terlecut
duri pandan
Kalau nafasmu sesak terbungkus sengak
bau kemenyan
Itulah saat yang baik memejam mata
Lirih pinta biar terdengar
Pucat wajah biar bersinar
karena menahan
haus dan lapar

Jangan takut
Janganlah gentar
Rasa perih bagaikan nikmat yang tersamar

Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Senduklah bubur yang mengepul hangat
di ujung petang

/2/
Bubur yang gurih
Pulut merah dan pulut putih
Gula kelapa telah dituang
Sebatang pisang
mengulur tunas di tanah lapang
Aku bertanya tentang warna bendera
Darimanakah kapas
Darimanakah benangnya?

Ketika itu Perlak dan Pasai
masih sesunyi kuil-kuil
Sekawanan burung enggang datang
Orang-orang di gerbang Samudera
menyongsongnya
dengan sebuah tarian kandil

Dulang pun ditatah
Sedah sirih berlapis gambir
Mengikat lidah dengan lidah
“Kepada sayap yang letih
dan tubuh garam yang lusuh
Gerangan apakah yang membawa tuan-tuan
datang dari negeri yang sangat jauh?

Kami tiada mempunyai emas di sini
Tidak pula sesuatu yang berharga
Terumbu telah punah
Minyak damar dan kapur barus
sudah lama tidak ada”
berkata Ninik yang bijak sambil
mengetuk gagang tongkatnya

Bubunnya mendadak ringan
Tempat duduknya yang tinggi mendadak lenyap
dari pandangan Â 

Tapi kawanan burung enggang itu
Lebih mengerti jalan cahaya
mereka memasuki tiang
dan mendapatkan Ninik bersembunyi
di dalamnya

“Salamum alaikum
Mengapa sejauh itu, wahai tuan
Kembalilah ke tempat semula
Di sini ruh dan tubuh begitu indah
bermadah
Di dalam sujud tidak terjatuh
Di dalam hati harus merendah

Mengapa membuang madah
Mengapa menghapus rupa
Antara hamba dengan Khalik
ada batas yang nyata
Di situlah Muhammad
menyimpan Nur Ilahinya
Di situ pula rahmat
Tercurah buat seluruh
alam semesta

Maaflah jika kami tersasar kemari
Kami tak membawa pedang
dan sebilah pun senjata tajam
Tidak pula kami bermaksud mengambil emas
memeras damar
di tambang tuan

Namun jika dibuka palang pintu
Inginlah kami berehat barang sejenak
di tikar pandan
tubuh yang payah biar berbaring
haus yang panjang sudah rindu bertemu air”

Itulah mula cerita
Sekawanan enggang datang dari seberang
Bilik yang sempit mendadak lapang

Lapang selapang-lapangnya hati
Luas selajang kuda berlari

Maka duduklah bersama-sama
Kenangkan Ninik
Kenangkan kandil dan kupu-kupu
yang mengurung diri di senyap bilik

Selembar tingkap telah dibuka
Esa hilang
Dua dibilang sesudahnya Â 

/3/
Selat Melaka yang megah
Bandar-bandar dipenuhi kapal yang singgah
untuk mencari rempah-rempah
Meriam dipapah
Dayung-dayung dikayuh
dengan tangan lemah
orang-orang terjajah

Sebagian armada mungkin ke timur
untuk mengambil pala
Sebagiannya ke barat
untuk mengambil emas dan kapur barus Â 

Sebagiannya tertinggal
di lembah dan ngalau ngalau
Menjarit sedih dari sobekan-sobekan kitab
yang tercecer di pinggiran
pulau pulau

Orang-orang itu
Entah bagaimana mereka bisa
menemukan ibu kita
di antara kuil-kuil runtuh
di pulau perca
Entah bagaimana mereka bisa
berhelat dan menikah
Selagi penghulu dan ninik mamak
dipenjara di loji-loji bangsa Eropa Â 

Entah bagaimana pula kelak keturunanmu, penyairku
Di pelamin kita tak ada pohon sawo yang rindang
tak ada kandis dan gelugur
tak ada asam si riang-riang

Bila aku memelukmu dalam tidurku
Bila aku membelaimu dari helai rambutku
Yang kubelai selalu hanyalah kesunyianku sendiri
Ketika antara aku dan bantal menyatu
bagaikan mayat di peti mati

/4/
Mungkin poyangku rata semua semata
di dalam sukma yang tak mengenal darah
Mungkin di dalam ruh sajak-sajakku
ada pohon pinang yang tumbuh
tanpa mengenal
warna tanah

Tetapi angin mana yang tega menyemainya
hingga ia tumbuh begitu sengsara
Tangan siapa yang tega mengupas kulitnya
di panas terik

di lereng-lereng tandus Bukit Barisan
sajakku mengelunsang merindukan riak air tasik

/5/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya aku menangis

Maret 2008
Kosa kata :
- gendang tasa adalah gendang yang dipergunakan saat ritual menghoyak Tabut. Jumlahnya dua belas.
- Lalaga, peti kayu dalam tabut yang melambangkan kubur Imam Husain
- Pulut merah dan pulut putih, beras ketan yang warnanya merah dan putih.
- Perlak, Pasai, dan Samudera kerajaan Islam pertama di Aceh
- Enggang, burung enggang. Tapi dalam hikayat dan tambo alam Aceh dan Minangkabau merupakan perlambang dari ninik yang datang ke pulau Perca dari seberang.
- poyangku rata semua semata, diambil dari baris sajak Amir Hamzah berjudul Doa Poyangku.

Asyura adalah hari ke sepuluh bulan Muharam. Pada hari ini masyarakat Islam tradisi di beberapa tempat di Nusantara seperti di Aceh, pinggiran Sumatra Barat dan beberapa tempat di Jawa memperingatinya dengan berbagai macam ritual. Tradisi ini pada mulanya untuk memperingati kematian Imam Husain di Karbala. Di antaranya membuat Kanji merah-putih atau yang lebih dikenal dengan Kanji Asyura. Di Pariaman dan di Bengkulu peringatan Asyura dilakukan upacara menghoyak Tabut. Di Ternate dengan Badabus dan beberapa tradisi lain.

Tentang Riki Dhamparan Putra Riki Dhamparan Putra lahir di Kaji Talamau, Sumatra Barat, pada 1 Juli 1975. Memulai proses kreatif di Kenagarian Lumpo, IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, dengan mendirikan Sanggar Welidtra. Tahun 1994 hijrah ke Denpasar untuk bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Sejak 2007 rajin melakukan perjalanan budaya ke Indonesia bagian Timur. Sejak 2009 mukim di Jakarta. Puisinya tersebar di banyak media massa dan jurnal sastra. Juga menulis esai dan features budaya. Pernah bekerja sebagai redaktur. Kumpulan puisinya yang pertama: Percakapan Lilin (2004).

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Penyair membuka buku ini dengan tulisan sepanjang 2 halaman, yang dijudulinya Matur Suksma. Setelah itu ada halaman persembahan yang berbunyi begini: Cenderamata/untuk anakku Ufuk Sidratul/dan guruku Umbu Landu Paranggi. Sampul belakang buku memuat kutipan sajak “Memasak Daging Kurban”:
kepadaMu yang memiliki semuanya Berilah sajakku jalan Biarlah ia mengepul serupa sup hangat di meja makan Ia ingin menjadi bagian dari keluarga Menjadi nenek, menjadi burung kakak tua. Sajakku ingin tertawa ia ingin bahagia dengan gigi palsu yang telah lama menggigitnya

No comments:

Post a Comment