Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Mustofa W. Hasyim: POHON TAK LAGI BERTUTUR


image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Pohon Tak Lagi Bertutur
Penulis : Mustofa W. Hasyim
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Madah, Yogyakarta.
Tebal : xiv + 70 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-979-19797-7-1
Gambar sampul : Toni Malakian
Desain sampul : Omah Djanur
Tata letak : Gapura Omah Desain
Penyelia aksara : Murnita D. Sukandar

Sepilihan puisi Mustofa W. Hasyim dalam Pohon Tak Lagi Bertutur

DI KERAMAIAN GEREBEG SEKATEN

Langit teduh, ujung-ujung tombak prajurit bergerak naik turun
seperti gelombang kepedihan
tambur bertutur tentang leluhur terkubur di bukit Imogiri
terompet menyobek waktu, kegaduhan segera dimulai
Para pemikul doa menyongsong pemikul gunungan
seharusnya upacara diutuhkan, tapi selalu saja
para penagih berkah yang semalam tidur di halaman masjid
gelisah dan cemas tidak kebagian jatah nasib
“Kalau tidak merebut akan hampa tanganku.”

Mereka bergerak menciptakan pusaran
keheningan mentah kembali, “Inilah alam raya
silakan ruhmu sembunyi.”
Banyak yang meloncat bagai monyet
menyerbu pohon sarang bebuahan
yang lain, minta dilempari sisa

Pasir di pelataran masjid, teraduk-aduk pertempuran
reruntuhan gunungan dipungut satu demi satu
senyum dan sedikit tawa membilas jiwa
letih karena menunggu
lalu, desa-desa tak bakalan sunyi
“Kami segera pulang kembali.”

2009


PEMBAKARAN BATU BATA, SEUSAI TARAWIH

Nyala jerami seperti jemari yang menyala
diam-diam, desa masih bertenaga

Bau asap tak terkalahkan oleh pertanyaan
orang-orang kota, hanya menawarkan kata-kata

Betapa teduh hidup, menyerahkan diri
pada irama gaib penuh rahasia langit

“Batu bata ini akan selesai bertapa. Lalu apa?
Dibariskan dan disembunyikan di balik warna.”

2006



POHON TAK LAGI BERTUTUR
Pohon-pohon tak lagi bertutur tentang keluhuran Akarnya dijadikan tempat parkir Gerobak letih dan lesu Milik para pengembara Warung riuh, pengamen mengajak bermimpi Lewat lagu kenangan, apa saja Ada pohon yang diberi lampu Tempat menyembunyikan segelas teh hangat Milik tukang parkir atau pencatat waktu Bunga yang selalu tumbuh, tak terlihat Buah-buah tua berjatuhan menjadi sampah Tak ada lagi yang membaca Burung sekali-sekali hinggap Tak ada yang melihat dan memperbincangkan Memang ada suasana segar dan teduh Bukan itu yang penting Nasib telah dibentuk oleh isi dompet masing-masing Lapar, dahaga, tanpa nama Kenyang, atau mulia karena pesta hasil menjelajahi kemungkinan dan menjajah kesempatan “Orang lain tidak penting hanya penting sekali-sekali, betul, kan? Ha ha.” Pohon-pohon? Kadang dipuja dalam taman dan pameran “Tapi kau sesungguhnya kan hanya ingin memuja dirimu kan? Buktinya, ukurannya harga.” Rumput-rumput, gilas saja oleh roda bis luar kota ciptakan debu sebagai gantinya “Mereka mendatangkan uang.” Tentu saja dan pohon adalah pengganggu apalagi kalau cerewet, mau bertutur tentang keluhuran “Keluhuran apa? Keluhuran tidak enak dimakan.” Begitulah, hikayat bumi ini makin dipenuhi kisah dari makan ke makan lupa makam dan tanaman.
2006

SIAPA YANG TERUS MENYAPA
Siapa yang terus menyapa tidurku
“Sebagai manusia kita tetap perlu bertatapan mata.”
Itulah yang aku tak sanggup menggenggam kembali api
“Aku bukan Musa!” teriakku
“Tapi kau murid Nabi Khidir!” teriakmu
Entah siapa yang tersesat di ruang tanpa rencana ini?
Sebaiknya makan pagi diteruskan diam-diam
Tanpa alamat di masa depan “Betul, kita hanya membutuhkan  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  belantara.”
Makasar, 2003

KETIKA ORANG KAUMAN
ketika orang Kauman jadi manusia
malam hari, lagu dari panggung dunia hanyutkan doa
barangkali yang dibutuhkan hanya tawa sederhana
jangan lupa, lorong panjang ini ada ujungnya: persimpangan jalan.
Kauman, 2004

DI ANTARA DERETAN RUMAH DAN SAWAH
Debu masih pagi
garis cinta baru dimulai
siapa yang akan sampai?
pohon memanggil angin
lagu mengalir dari gedung sekolah
lapangan dihajar cahaya matahari
rumput-rumput sepi menyerah pada usia
2007

TEPUS GUNUNGKIDUL
Hutan menutup bukit batu, mata tak lagi luka saat menatap siang, menyeberang ke cakrawala air mengalir sesekali dalam sebulan dari gua Bribing, dalam dan gelap di kepasrahan, menimbun hari panen tak mungkin ditunda.
Selalu ada yang tersembunyi di balik percakapan panjang setelah langkah tak letih memburu dedaunan makanan ternak, mengunyah harapan anak cucu “dari mana datangnya roda?” “dari mana datangnya gelombang dan antena?” jalan desa mengeras kemudian terkelupas.
Malam, percaya pada dongeng telaga mengering sesaat setelah diperbaiki “Kemungkinan kita salah membaca,” kata Pak Dukuh angin bukan lagi huruf sempurna juga tiap butir tanah teracuni pupuk pabrik bayang-bayang bergerak di lembah sama-sama tercerabutnya dengan kata dan bisikan.
“Sebenarnya, kita ini apa? Siapa? Dan mau kemana?”
Perjalanan terasa masih di tempat bermula saat teh panas habis di gelas dan serbuk gula yang tersisa mentertawakan usia peminumnya.
2009

PEDALAMAN KOTAGEDE
Kemana rumput pergi tak lagi menemani bambu tersisa di kuburan purba: capung memutari celah langit
batu, diolah dari waktu makin panjang barisnya membentuk lorong dan dinding jiwa berlagu, teriak, menjeritlah kalau mampu
jejak kata di butir udara mengalir atau terkunci di pojok senthong retak oleh gempa yang bersusulan sepanjang tahun
“ini zaman penuh kepedihan, anakku.” “dulu juga demikian, ibu.” “tetapi dulu masih ada doa.” “sekarang semua meleleh jadi cerita.”
Jadilah apa yang seharusnya terjadi patah garis petualangan anak terjepit langkah di antara reruntuhan sunyi.
2009

LAPAK DI PASAR NGASEM
Spanduk hangus menyambung dua atap renta
kayu gelugu bersilangan
hinggap beban di atas tanah becek
“Ini seperti sebuah sisa dunia.” “Ya, kekalahan dirayakan tiap hari.”
dengarkan gertak anjing di luar sana, menelan keheningan ikan
burung-burung diterjang harga
jengkerik, cacing, telur ngangrang terpajang
butir-butir tanaman lembut disuapkan pada hati
gelisah bumbu meledakkan aroma
istana air di selatan dibangun kembali tubuhnya
di bawah percakapan langit tidak kelihatan lagi
“mengapa kalian ada di sini?” “ya, mengapa harus tahu semua ini?”
mungkin sejarah telah buntu ketika tukang parkir meneguk jamu.
2007

PENDAPA
meja ditata, telapak dan serbet terayun nada gamelan, perangkap mimpi
bau sayur purba merangsang tamu bule menyerbu piring dan mangkuk
minuman, rempah akar, sayatan batang, daun dan buah jambu
“segarnya surga.” “lezatnya masa silam.”
“jangan menyantap luka.”
“ya, jangan bicara yang benar.”
“itu menakutkan merusak suasana.”
“hiduplah seperti taman diam-diam menata warna.”
“atau, hiduplah seperti angin menjelajah segala warna, cuaca dan aroma.”
daun pisang membuat sawah begitu dekat
tak ada tokek di dinding mengirim teka-teki
tak ada cicak di antara lampu menebak alpa
hanya burung prenjak tak mau membisu.
2007

DENGAN CAHAYA PUISI
Dengan cahaya puisi aku bertahan melewati malam
Gelap dan mendebarkan
Suara-suara menggoda di kejauhan
Impian mengajak masuk ke pusaran
Cinta yang tersisa bayangnya
Luka dihancurkan kata
Kucoba mencari doa di antara reruntuhan hati
Wajahmu jadi seputih puisi cahaya
“Kembalilah pada keharuman waktu.”
“Kembalilah pada keabadian sunyi.”
2005

MAKAM PENEMBAHAN SENOPATI
Berlayar di antara batu putih batu merah batu hitam, pohon beringin, kanthil gondhok, kenanga, sawo kecik, nagasari, pasir rumput pakis dan endapan waktu. Gerbang luar, dibuka, gerbang dalam sedikit menganga. Asap mengalir harum, mawar tersaji. Tenteram. Bangsal bangsal sunyi. Cungkup cungkup agung. Nama nama dimakamkan membentuk jejak dalam, tak bisa dihapus. Burung gelatik wingko, burung manyar, musang dan kelelawar, tokek purba. Pohon puring dan bunga selasih. Dingin nisan membekukan kata. Para peziarah menyerahkan mimpi pada udara, dijawab arus angin dari dalam. Mereka menjajakan masalah remeh rumah tangga dan kegamangan pribadi dalam meniti jembatan peristiwa. Ada duka sudah diolah menjadi doa, ada amarah dikemas dalam paket harapan dan ketakutan yang disembunyikan dalam gerak mata. Langit tidak terbaca. Daun-daun kering gugur. Dan pemandu, para abdi dalem terus menikmati keheningan ruang. Pagi hangat, siang menyengat, tak terasa perubahannya. Pertanyaan memantul kembali. Tidak ada yang berani bersin atau batuk. Semua seperti memasuki mesin penghalus jiwa. Kegaduhan dan kegelisahan telah dibayar dengan senyuman. Asal usul tidak lagi penting. Tempat kembali tidak menjadi penjara. Di sini semua sudah tanpa baju, hanya kemaluan yang terlindungi agar tidak mengganggu kepala. Semua sudah menunduk. Menunggu suara-suara gaib yang belum tentu mereka dengar. Di tempat parkir di bawah kerimbunan daun pohon raksasa, para sopir bercanda. Minum es teh dan mengunyah gorengan sambil melirik isteri penjual warung yang lupa merapikan daster. Mereka tidak memaksakan kehendak. Di antara kerdipan mata, ada yang ingin menerjang celah terbuka. Dan gemurun pun menuntun kamar rapuh di dalam angan. Para sopir menggeleng. Ingat angsuran rumah belum lunas. Mereka tersenyum, dengan suara lirih, gemetar, ramai-ramai memesan mie instant rebus pakai cabai iris tujuh buah. Mereka menunggu. Perut butuh kenangan.
2012

GEGULU, KULONPROGO
Belokan waktu sungai memperpanjang dongeng pohon-pohon mengibarkan cahaya sejarah keluarga
ada juga gelisah kenapa harus menyeberang ke kota tua kalau tanah masih bisa diajak berbicara dan musim bukan kabut malam
sisa perkawinan yang rapuh dirajut kembali demi langit yang selalu dapat dibaca
orang-orang yang sakit di bawah hujan gerimis satu persatu menunggu kelembutan
pidato di balai desa suguhan sederhana senyum keletihan “untung kita masih saudara.”
pohon kelapa tidak lagi berbaris menyapu wajah hari utara dan selatan sama saja bertemu jembatan sunyi
2009

DEGUNG PEPOHONAN
Pohon-pohon bergerak pelahan melintasi batas angan harapan: melahirkan zaman
meski angin merobek daun pisang ia tetap menyiapkan buah matang, tunasnya, yakin, tumbuh tak terhadang
cakrawala terbelah tiang lampu ditemukan pengembara waktu subuh ia mencatat, segala bisu terus melaju
tapi masih terdengar bisik bunga rumput pesan-pesan berantai datang dari jauh menerobos saung demi saung
“Siapa pun masih berhak di sini masih berhak memiliki sunyi walau tembok makam diretakkan janji.”
2007

KOTA KELAHIRAN
tak mengharap tak diharap kota kelahiran
alangkah pedihnya waktu
beberapa rumah kuberi salam tak menjawab
ibarat telur terlempar aku menetas sendiri
menyemai musim di luar batas kota
2002

Tentang Mustofa W. Hasyim Mustofa W. Hasyim lahir di Yogyakarta, 17 Nopember 1954. Menulis puisi sejak 1970-an. Puisinya tersebar di berbagai media dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisinya: Reportase yang Menakutkan, Ki Ageng Miskin, Musim Hujan Datang di Hari Jum̢۪at, dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia.

Catatan Lain Halaman belakang buku mengambil 3 bait puisi “Pohon Tak Lagi Bertutur”. Demikian juga halaman persembahan (halaman xiii): “Pohon-pohon tak lagi bertutur tentang keluhuran/Akarnya dijadikan tempat parkir/gerobak letih dan lesu/Milik para pengembara”. Penulis memberi pengantar sepanjang 3 paragraf, menghabiskan 1 halaman buku. Demikian.

No comments:

Post a Comment