Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Kurnia Effendi: HUJAN KOPI DAN CIUMAN


image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Hujan Kopi dan Ciuman
Penulis : Kurnia Effendi
Cetakan : I, September 2017
Penerbit : BASABASI, Yogyakarta.
Tebal : 144 halaman (101 puisi)
ISBN : 978-602-6651-40-2
Penyunting : Tia Setiadi
Tata letak : Amalina
Tata isi : Violetta
Pracetak : Kiki

Sepilihan puisi Kurnia Effendi dalam Hujan Kopi dan Ciuman

Tubuh Ibu

Malam memasang jubah sunyi, ketika tubuh Ibu menjelma
rumah dengan banyak kamar. Detik berjatuhan serupa merjan yang
lepas dari ikatan. Bergulir menjauh, merepih bunyi yang tak
sungguh sampai pada telinga.
Seiring gumpalan waktu yang diseret maut,
satu per satu benda-benda dalam tubuh Ibu pamit:
pankreas, ginjal, empedu, hati, paru-paru, batang otak, dan jantung.
Seperti penjaga yang menunaikan tugas, satu demi satu
ruang dalam tubuh Ibu memadamkan lampu.

Gelap itu sampai ketika pagi memercikkan cahaya matahari
Tubuh Ibu bercakap-cakap dengan mesin yang seolah serbatahu
Di ambang pintu, malaikat telah menunggu. Napas yang tersisa pada
serabut kusut di balik dada Ibu mulai dilepas terbang. Dan doa
berenang pada genangan udara, meraih tepi, yang
membatasi antara terjaga dan mati suri.

Kini ruh beringsut dari jemari kaki ke lutut, dari paha ke perut, dari
dada ke rambut. Meninggalkan suhu yang menyusut. Selembut
kasihnya sepanjang tujuh puluh satu tahun, tak terhindar rasa sakit
saat meninggalkan raga tempatnya berdiam. Kernyit sejenak di
antara kedua mata Ibu merupakan isyarat perpisahan.

Aku tak pernah tahu, ke mana ruh itu pergi: utara atau tenggara
Ia menjauh dari tubuh Ibu mungkin dengan rasa pilu yang
dititipkannya kepadaku

Slawi, 2011



Melukis Hujan
Tuhan, ajari aku melukis hujan Garis basah pada latar akuarel Titik yang memanjang dari ujung jari-Mu menuju bumi Setrum cinta yang murni
Bingkai lanskap, batas yang lepas dari perangkap Cahaya luntur dalam tekstur kelabu Kasih yang tercurah menanggung hujah Kanvas ini lumut, seolah hujan mengawali kiamat
Tuhan, kupasang di mana lukisan hujan ini? Horison leleh menyeduh hasrat manusia Hanyut harapan ke muara menjelma genangan pikiran Mengubah anugerah menjadi keluh kesah, rahmat menghimpun kesumat
Hujan, ajari aku melukis Tuhan
Jakarta, 2014

Lelaki Semburat Matahari
Biarkan sebuah pagi kembali melewati gelap jalan ini mengendap dari dasar perigi dan saat semburat cahaya matahari terlukis wajahmu pada langit pasi
Kubiarkan engkau lewat jalan ini menating bilah-bilah puisi setipis ilalang, selunglai untai jerami untuk semata menandai bahwa usiamu terpangkas seruas lagi
Hanya dengan himpunan puisi pesta itu dirayakan berulang kali hanya dengan semburat cahaya matahari lelaki sepertimu percaya pada ujung hari : sebuah senja yang nyaris abadi
Jakarta, 2009

4 Kwatrin tentang Kopi
1. Di anjungan yang tak tenang: horison bergelombang Tampak samar hutan tropis Brazilia di bawah kawanan tipis awan Akan kukenang pertemuan kita seperti menjalin benang Sebelum kopi dingin, sebelum hilang seluruh angan
2. Cahaya membuka pagi dan pagi membuka kamarmu Separuh malam penghabisan: setelanjang inikah hidup kita? Dari Jambi ke Lampung, dari dahi ke lambung Aroma kopi membuka rahasia sehelai demi sehelai
3. Kedai Jasa Ayah tidur lebih larut malam ini Kutanggap cerita Helena yang ikal mirip rambutnya Tanpa musik, tanpa gambar, tanpa syahwat sang pemberani Tokoh kisah menari lincah di selingkar cangkir kopi kita
4. Kupesan kopi dengan susu dari penjual bersepeda keliling Ia menawarkan riwayat hidupnya sebagai hadiah Saat kubayar dengan uang gaji pertama setelah menganggur lama Ia membekaliku inspirasi:”Bawalah untuk hari tuamu.”
Jakarta, 2017

9 Haiku tentang Kopi
1. kasihku: Eva lingkar pinggang Pringsurat terkecup hangat
2. lebar Malabar paras petani kopi disekap kabut
3. secangkir cinta dalam pekat renjana memagut Bromo
4. marilah, Gayo! setengah hari lagi dirundung kopi
5. tamasya mata sepanjang Mandailing merenggut hasrat
6. pertanyaanku: mengapa di Toraja kureguk candu?
7. Bali kembali terendam didih kopi di Kintamani
8. “Ambil sabitmu. Mari ke Sidikalang.” Ziarah wangi
9. terbang arwahku robusta-arabika di pangkal jantung
Jakarta, 2017

Purnama - dari  penyair rumah anggit kepada penyair sahaja
Ia berjalan lambat ke barat Dengan puisi di tangan, di antara kapas-kapas awan Pada akhir putaran dadu sang pemindai waktu Ia tiba di langit Paris sebelum jatuh pagi
Dalam perjalanan itu: raganya terus bercakap dengan jiwanya Maut menjaga jarak seperti penujum yang sabar
Malam adalah bagian yang menyenangkan Dari serangkaian kesibukan menerima tamu Mereka menyamar sebagai damar yang melekat pada kain Kadang beralih rupa rama-rama di taman seluas mata Menyusup ke dalam sup di mangkuk tembus pandang Atau sekadar sepat kopi yang kekal di lidah
Setelah kaki linu dan sayap seolah b
eku Seluruh wahyu merasuki sukma Bertukar tenaga dengan cahaya Untuk malam-malam berikutnya Penunjuk jalan bagi pengembara yang belum rehat lewat senja
Ia terus melayang ke barat Tempat sebagian pengetahuan berpusat Lambat atau lesat, ia salin sebuah sejarah Puisi adalah sulingan sunyi dari perasan darah
Jakarta, 2016

Saat-saat yang Tak Gampang dan Saat-saat yang Tak Lekas Hilang -Ramdan  Malik
Hakikat seorang pejalan bukanlah menghitung langkah Jejak itu mencatat kehadiranmu Di rumah-rumah hati, di ranah-ranah sunyi Di tempat-tempat tak terduga waktu tetap terjaga
Air mata yang mudah merembes itu puisi tak tertulis, seperti embun yang kalis Namun buku di rak sanubari menjadi bacaan para malaikat
Pandang matamu tembus ke segala arah: Deretan rumah putih megah sebagai cadar kemiskinan Tilas telapak kaki Bapa Ibrahim dalam noktah sejarah Pesan yang tercantum pada nisan seorang demonstran Banjir yang senantiasa turut menenggelamkan perasaan Kekerdilan fatwa yang kehilangan akar sejarah Cinta yang berulang kali tertampik arus kebencian
Gugur Tahun Lagu dan syair kesukanmu, keindahan tajam sembilu Kau membiarkan pintu dan jendela tetap terbuka Almanak tak pernah berakhir, seperti si bijak yang tak henti berpikir. Dan helai-helai daun terus berzikir
Di saat-saat yang tak gampang, kita berutang peruntungan pada ketulusan sahabat, mencoba bertumpu pada iman dan pengetahuan. “Kepercayaan pada esok dan lusa, aku suka.” Hanya pada segenap kegelapan cahaya memiliki jati diri. Itulah saat-saat yang tak lekas hilang.
Jakarta, 2016 Catatan: “Gugur Tahun” adalah judul lagu Leo Kristi “Kepercayaan pada esok dan lusa, aku suka” adalah salah satu baris lirik lagu “Marga, Souvenir Pojok Somba Opu” karya Leo Kristi

Mengenang Bandung dari Jauh
Jalan-jalan basah menuju puncak bukit, hutan kecil, rimbun daun Jalan-jalan rindang dengan pohonan yang setia menjadi payung Jalan-jalan teranyam rumit, gang-gang dengan
rumah yang rapat
Jalan-jalan yang seperti beku, garis-garis wajah kota yang tak berubah Jalan-jalan dengan lalu-lintas sibuk, warna-warni terhenti, bergeser lambat Jalan-jalan yang hangat oleh kafe, aroma kopi-krim suara kenes mojang Priangan Jalan-jalan sendu dan larut di bawah embun malam, sinar lampu yang temaram Jalan-jalan dengan lintasan cepat, waktu dan peristiwa tumpah-tindih Jalan-jalan gembur, ladang subur penuh tanaman sayur Jalan-jalan berhias gelak-tawa anak muda, aroma keringat mahasiswa Jalan-jalan dalam denyut rahasia, malam dengan musik fusion, ciuman berkelebat Jalan-jalan menukik sunyi pada tebaran kabut, samar uap jagung rebus Jalan-jalan berserak aneka rona bunga, ucapan selamat dan warna perak kematian Jalan-jalan tak tentu arah, memisah dari mata angin Jalan-jalan saling bersilang, menembus hatimu, menderu suara di hatiku, terseret gelombang waktu Kini membayang dalam genangan air mata Ketika semua menjadi jauh Seperti sebuah jarak
Jakarta, 1999

Cinta Randu Alas
Cintaku padamu meniru akar randu alas Melesak dalam sela batu bumi, mengikat erat beribu hikayat. Di ranah Sebayu, kurawat sumur dan tanah gembur Kuingin anak cucu berkumur kenangan, mineral yang membangun jiwa mereka subur
Cintaku padamu serupa pucuk ranting randu alas Mencium ubun-ubun langit, memandang cakrawala berbatas pantai dan bukit. Laut utara menanggung lara, lereng Gunung Slamet menuang kasih sayang, mengalir siang dan malam lewat Kali Gung Jauh sudah bunyi letupan bedil, berganti berondong mercon setiap awal Lebaran
Cintaku padamu ibarat batang raksasa randu alas Tahun demi tahun menghimpun sari perasan sejarah. Getah yang melahirkan para perantau, kaum tahan banting, lengan-lengan yang bekerja Laju permukiman, industri rumahan, tajuk ranum kesenian: seriang arakan kapuk dalam tarian angin
Balikpapan-Samarinda, 2014

Avi - dari penyair yang belajar interior kepada penyair yang belajar arsitektur
Bagi senja yang sayapnya selebar cakrawala, waktu adalah bentangan ruang Tak lebih luas dari hatimu Namun leluasa untuk secangkir kopi dan percakapan karib tentang sejumlah kwatrin dan komposisi piano Johan Sebastian Bach Di bawah bukit, kota menyapa dengan morse cahaya Mengingatkan rencana makan malam: dimsum hangat di cawan tembikar Angin mengirim salam terakhir koloni burung yang terbang pulang Menit tak akan mangkir, bahkan ketika kita lupa bersulang
Tangga menuju rumahmu disusun dari bilah-bilah kenangan Taman ditumbuhi aneka peristiwa, kini berkisah kembali Riang diwakili kemuning dan cempaka, hampir menampik melur dan kenanga yang basah air mata Biarlah cemara yang jangkung dan rimbun soka menjadi pelindung dari aum serigala
Di credenza, tahun-tahun terhenti, abadi: Wajah kecilmu, doa-doa dari tanganmu senandung dari mulutmu Jam menjatuhkan detik serupa gerimis, berserak di lantai foyer, terpantul pada kristal lampu dan kertas perak pembungkus hadiah Di bawah rasi Gemini engkau menari dari ruang ke ruang: Terakota beranda, patio tempat patung mengaso, pantri penuh pastri, kamar tidur untuk dongeng yang melantur
Tak ada janji sesudah ini, misalnya dengan puisi yang nyeri Rasa takut melahirkan pertanyaan : adakah cinta masih mudah diunduh dari reranting yang rapuh? Masih banyak tempat pakansi untuk mngistirahatkan imajinasi Negeri muasal korintian atau kapel-kapel ungu Tanah semai euforbia atau kubah yang selalu dirundung salju
Jakarta, 2016

Lebak Gede, Lukisan Hujan
Telah lewat tengah malam, ketika hujan turun. Telah lewat ronda malam, jalanan basah udara penuh embun Temaram cahaya lampu luntur dalam kabut Hanya kulihat dari balik kaca: Kuyup langit menjelang subuh, dan bercak emas yang jatuh terbawa air
Tuhan menidurkan kalian dalam dingin rumah papan. Tuhan mengunjungi kalian dalam mimpi yang transparan Hanya kulihat dari balik kaca: Kristal hujan membasuh pohonan, yang gagal menjadi sebuah hutan Karena kalian tinggal berdesakan
Telah lewat cahaya bulan, ketika hujan turun. Banjir di selokan, seluruh angan-angan
Bandung, 1989

Menisik Sajak Pusaka
Gerimis mempercepat kelam Dan di ambang malam aku mengakhiri ziarah Ketika seluruh sajakmu jadi merah, merasuk dalam darah
Di perasaan penghabisan segala melaju Terus, terus, tak lagi mau menunggu Cahaya dan kurun waktu bersatu di depan pintu
Aku mengembara di negeri asing Mencari tanda, mencari makna, isyarat benda-benda Mungkin tak kan kembali jika itu berarti mati
Dalam sunyi malam ganggang menari Ditingkah musik gemuruh hati Aku rindu keadaan sendiri ketika semua tampak sejati
Aku tidak tahu apa nasib waktu Sesuatu yang Mahatahu membikin hijau atau ungu Dua puluh tujuh tahunku dirundung kelu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d), sampai juga deru dingin Aku berkemas dengan cemas, berpisah dengan puisi Jiwa yang selalu menemani
Rumahku dari unggun timbun sajak Bersusun tinggi antara niat dan langkah pasti Menyentuh langit dan kibaran doa
Aku sekarang api, aku sekarang laut Membakar perjuangan, menggulung beribu lawan Tak sudi menyerah untuk kalah
Kau depanku bertudung sutra senja Tak mungkin kabut menyembunyikan parasmu Maut yang membiru
Hidup hanya menunda kekalahan Untuk diulur dari tahun ke tahun Mmendam cinta di lubuk terdalam
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga Mungkin titian kata-kata Menyeberangkan kita saling mendamba
Berjagalah terus di garis batas antara pernyataan dan impian Sebab tak ada hidup tanpa kekuatan jiwa Untuk memperabukan seluruh kehendak
Jakarta, 2016
Catatan: Pada puisi “Menisik Sajak Pusaka”, setiap baris pertama yang dicetak miring diambil dari larik puisi Chairil Anwar yang berbeda-beda (dari 12 puisi)

Taman Laut - Gratiagusti Chananya Rompas
Jejak bulan samar pada langit biru memar Di ambang jendela subuh, kukenang suaramu: Paduan nada manja, kantuk yang memberat, dan gangguan sinusitis pada hidungmu Menggubah senandung terindah sepanjang hidupku
“Maaf telah membangunkanmu. Sekarang memang masih terlampau pagi. Ada waktu setengah jam untuk tidur kembali.”
Saat matahari merambat pelan, kita sarapan tinutuan Melekat gurih perkedel ikan nike di semenanjung Wakeke Angin bertiup ramah memperkenalkan rasa garam Di pergelangan tanganmu, jarum arloji mengingatkan waktu menyelam
Bibir dermaga memperlihatkan sepotong paras Venesia Meluas gelombang agar-agar biru menyentuh cakrawala Di atas kapal, senyum dan geriap rambutmu menghias bingkai jendela Melajulah perahu mengarungi biru lazuardi muda, biru ultramarine samudra, biru toska Bukit Manado tua, biru indigo palung tak teraba Melaju berperahu melupakan rahang hiu
Di atas katamaran, kita mengintai dasar lautan Terhampar panggung bening tempat ikan-ikan menari Warna-warni karang terbungkus sulur ganggang: sebentang istana yang nyaris hilang.
“Aku ingin terapung di atas taman laut. Mengintip cahaya di ceruk karang dan lumut. Bercanda dengan ikan-ikan yang tak kenal takut Abadikan saat jemariku dipagut.”
Tengah hari singgah dan belanja di Pantai Bunaken, terhirup aroma ikan bakar sepanjang pesisir. Kita bukan turis yang tekun dan telaten, memisahkan hasrat dari cinta yang berdesir.
Melajulah perahu kembali ke pelabuhan awal, mengarungi biru langit matahari siang, biru laut haus terpanggang, biru gunung berpayung awan, biru palung lembah cendawan Melaju berperahu pulang ke tanah asal
Sebelum tiba di tepian, kudengar jejak tawamu memperpanjang suara syahdu
Jakarta, 2008

Sinanggar Tullo
Aku yang tak mahir berenang lebih mencintai air ketimbang padang pasir. Kutenggelamkan tubuh dalam-dalam memeluk karang Danau Toba. Tiada arak di sana, tapi aku mabuk membayangkan jadi seekor bintang. Di dasar langit hijau tua, berkelip memanggil juru mudi kapal yang bengal.
“Mari santap hidangan ganggang hangat, agar ia tumbuh kekal dalam lambungmu.”
Memandang gulungan air tersibak menjadi anak-anak ombak yang jinak Sejumlah pusaran pergi menyendiri dan mengirim pesan dari kekasih: putri nelayan yang kesepian
“Sudah kudendangkan sinanggar tullo berulang-ulang, siang dan malam, menyambut rindu. Namun yang kuterima melulu pilu.”
Kami sempat membenci deru mesin perahu. Mengingatkan gemuruh perang melawan pasukan mangmang. Kami pernah sembunyi di celah bukit terendam lantaran takut mati Angin mengikis batu gantung jadi belahan jantung. Putih perih dalam kilatan sinar mentari muda.
“Berhimpun di bahtera ini. Jangkar berakar sudah ke lembah danau. Tempat memanjat ikan paling renta, nenek moyang kita semua.”
Samosir-Toba, 2014

Bedugul
Kaki-kaki bukit yang menyelam ke dasar telaga, melahirkan anak-anak ikan. Pada  rambutnya yang bermahkota kabut, sesekali menyembur gerimis. Keluarga raya wanara menanti penggemar: kaum pelesiran yang mencairkan pundi tabungan
â€"dingin  meraut kulit
Kelok jalan mengerat bukit seperti pisau alit mengupas limau Dari tubir tinggi memandang danau bersalin hijau. Kita tak mengenal karib penghuni di kedung-kedung suwung. Meski telah mereka ajak saudara kita anjangsana dan berumah di sana
â€"akar  melilit surya
Singaraja, 2011

Shofa dan Briza dalam Komposisi Tengah Hari
Di atas permukaan batu alam yang kasar, Shofa dan Briza menciptakan kehidupan. Pada lembar dunia yang lain mereka melahirkan manusia, hewan, dan tumbuhan. Mereka menggariskan nasib dengan pikiran, menandai dengan aksara, menanamkan berbagai perasaan, seperti angin meletakkan serbuk sari pada rekah putik
Pada jarak yang terjangkau tangan, aku menciptakan dunia bagi Shofa dan Briza. Mereka bukan merpati yang gemar memainkan sayap bersenda gurau di teras pegupon. Kuletakkan mereka pada bentangan pikiran, tanpa ruas tanpa batas, kecuali cahaya dari matahari yang sama. Dialah benda yang membocorkan rahasia di antara kami, bahwa tengah hati sedang menghampiri
Aku tak mungkin menduga isi hati Shofa dalam asuhan angin taman, ketika daun-daun kering luruh ke pangkuan memberinya inspirasi. Aku tak sanggup mencuri isi kepala Briza yang terpukau suara dari balik punggungnya. Mereka kini menjadi bagian dari sebuah taman: serupa patung batu atau serumpun perdu, mirip fontain yang riang atau bangku beton dengan sisa remah cokelat, bagai lampu tanam yang bertugas memberi cahaya dari cekung tanah sehabis senja
Ini tengah hari berangin, waktu aku bebas berangan, sepanjang aku betul-betul beringin
Jakarta, 2011

Mata Jiwa - untuk Tiara Widjanarko dan Andhika Sastra
Di bawah tudung langit Kalian ibarat samudera Yang mempertemukan dua kutub
Di mata kasih Tuhan Kalian sepasang insan Yang saling mengulurkan tangan
Di bawah kanvas pelangi Kalian memilih Februari Tempat gerimis dan cahaya menari
Di bawah kesaksian malaikat Hati kalian saling terikat Cinta tumbuh serupa hutan lebat
Di bawah senyum rembulan Kalian menanam rindu di taman Kasih yang tak berkesudahan
Di balik bilik sunyi Kalian mengucapkan janji Untuk menepati dan tidak mengingkari
Di bening mata jiwa Kalian berendam dalam cinta Panen raya cerita
Jakarta, 2015

Puisi di Bangku Taman
Hanya yang pergi meninggalkan petisi. Janji yang ditangisi. Sesudahnya, waktu berlari, sendiri. Putih seperti aster yang pucat. Dibalut kafan angin barat.
Penghuni baru tak menghapus kisah, justru menambahkan halaman. Bingkai musim seindah ciuman yang tak direncanakan. Memperlambat hari. Mematangkan ilusi.
Di luar suara yang memperdebatkan cinta, sepasang merpati berpaut paruh. Mereka merelakan sebatang bulu sayapnya untuk menulis puisi. Tentang sentuhan manis dan ucapan getir.
Hujan yang dikira hendak melenyapkan setiap catatan upacara, di luar dugaan, justru mengekalkan. Pagutan kuat kata-katamu seperti taring yang menangkap leher pasrahku.
Jakarta, 2011

Interior Senja
Itulah pantai Dengan batas langit dan kaki bukit Sebentuk pinggang benua Terlihat ramping dari angkasa
Alangkah gaduh cuaca Seperti sisa perang brubuh Yang bergerak meninggalkan ekuator
Dari bingkai jendela Tumbuh menara korintian Membatas warna, membedakan waktu yang tersisih Dan reda menjelang malam
Bekas hangat bibirmu Ingin menetap di tengkuk Tak kudengar ucapan perpisahan Selain desir langkah yang meninggalkan
Alangkah gaduh perasaan Sayatan emas yang tercampak di cakrawala Telah mengirim ujung kerasnya ke jantungku Meninggalkan bercak merah padam
Itulah senja Dengan batas langit antara dua waktu Dan keputusan yang segera Dilupakan
Jakarta, 1997

Tentang Kurnia Effendi Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis puisi dan prosa yang terbit pertama di media massa tahun 1978. Lulusan dari FSRD ITB ini pernah bekerja di perusahaan otomotif selama 19 tahun hingga pensiun di 2015. Kini mengabdikan diri pada kegiatan seni budaya: sastra, batik dan seni rupa. Antologi puisinya: Kartunama Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), Senarai Persinggahan (2016). 15 buku yang lain adalah kumpulan cerpen, bunga rampai esai, novel dan memoar.

Catatan Lain “Pada dasarnya saya menggemari tema cinta, oleh karenanya sangat sedikit puisi yang mengangkat isu politik, bencana, atau sains,” tulis si penyair dalam pengantar yang dijudulinya Appetizer itu. Sebelumnya ia berkata: “Jika saya katakan bahwa selama merasa menjadi penulis saya telah membuat lebih dari 2500 puisi, terasa berlebihan. Saya pun tidak menghitungnya dengan teliti, apalagi setelah seluruh dokumentasi digital lenyap dicuri. Mungkin yang paling monumental adalah janji menulis 1000 puisi dalam 6 bulan yang saya lakoni di tahun 1996 (sejak 30 Juli hingga 31 Desember). Penerima perjanjian maupun penyimpan puisi-puisi saya itu hingga kini menjadi sahabat, yakni Ana Mustamin. Hal kedua adalah tradisi menulis puisi berseri setiap Ramadan yang berlangsung sejak 1987 hingga 2016, dan semoga berlanjut. Itu semacam ritual ibadah puisi di bulan puasa,” tulisnya (hlm. 7).  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Halaman persembahan (hlm.11) berisi tulisan ini: Dan, wahai, tak sama jumlah bulu matamu/Antara yang kanan dan kiri. Sampul belakang berisi kutipan pengantar penyair dari 2 paragraf yang berbeda. Begitu.

No comments:

Post a Comment