Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Hasta Indriyana: RAHASIA DAPUR BAHAGIA


image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Rahasia Dapur Bahagia
Penulis : Hasta Indriyana
Cetakan : I, Januari 2017
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Sleman, Yogyakarta.
Tebal : xx + 115 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-6776-24-2
Desain Isi : Kun Andyan Anindito
Ilustrasi Isi : Ismu Ismoyo
Desain Sampul : Yopi Setia Umbara
Gambar Sampul : “Mellow Dramatic Fools” karya Fatoni Makturodi
Prolog : Purwadmadi

Rahasia Dapur Bahagia terdiri dari 3 bagian, yaitu Rahasia (20 puisi), Dapur (21 puisi), dan Bahagia (29 puisi).

 Sepilihan puisi Hasta Indriyana dalam Rahasia Dapur Bahagia

TEKO POCI

Di pucuk lidah usia terasa berharga
Di pangkal kenangan kita merasa pernah ada

Gunung Kidul, 2013


JAKA UMBARAN

Darah Ki Gede Wanakusuma telah
Dikabarkan pada Sultan. Keris telah
Disarungkan di warangka, tubuh ibunya
Sendiri. Kini ia resmi menjadi anak raja
Anak kandung yang diaku lewat syarat
Membunuh ibu dan paman
Sang pemberontak sultan
Yang kelewat tangkas dan liat

Tanah di Giring kering. Gugus kelapa
Meninggalkan nyiur di antara belik
Yang dijaga bulus dan pelus

Bagaimana Brawijaya mengajari anak
Cucu mengukur tali saudara, memberi harga
Pada lidah dan tali darah?

Nun, Sunan Kalijaga telah membaca
Arah sejarah trah Kali Gowang
Yang batu-batunya berlubang dan air
Mengalir di antara pohon poh dan preh

Tak ada lagi daun lembayung dan
Kacang panjang dirajang di tiap
Babat dalan Sodo. Apem jagung dibalut
Daun salam, dikukus kerucut dalam
Anyaman kukusan kerucut di atas dandang

Orang-orang menoleh membayangkan
Wajah seorang senopati muda, cucu
Ki Ageng yang selama hayat menyatukan
Diri dengan alam lewat ajaran-ajaran
Sang Sunan.

Cimahi, 2016



KI AGENG SELA
Setelah ditangkap, petir di tangannya Diikat di sebatang pohon gandri Petir yang berkilat dan menggelegar Gemetar menatap petani lugu
Kembali seperti semula, petani gagah Itu menanam padi gaga dan merawat Kolam, membuat bleng dan garam Membuat nila, menanam Kembang pulu dan maning Menanam junjutan Sebagai benang halus Sutera untuk membikin Cindhe gedhog membikin joglo Limasan, membikin motif kain lurik
“Tanah adalah kewajiban memeliharanya Tiap orang. Disebut satu bau dikerjakan Dua orang. Disebut cacah sakikil jika Dikerjakan empat orang.”
Tak berapa lama, petir yang dipenjara Diperciki air dari batok kelapa seorang Perempuan tua
Suaranya menggelepar Keduanya lenyap
Lidah lebih panjang dari jalan Buat memanjangkan kisah tentang Petani lugu yang menangkap petir dengan Kilat
Gunung Kidul, 2015

WARA SURENDRA
Rautnya sedih namun memikat Luruh mengendap seperti santan Cerdas juga santun
Sinom di kening lebat Rambut gelombang, leher jenjang Dada bidang
Bersama ibu, Wara Surendra memetik Jambu dersana, manggis, kepel, kokosan Rambutan, duwet putih, delima Jeruk keprok, salak medhi, mangga sengir
Wara Surendra memasak sayur bening Sambal jagung sayur menir, pecel Ayam panggang, lalap cambah-telasih Ayam betutu, ikan gabus gepuk Sambal brambang lalapan seledri Bawang sunti dan mentimun
Wara Surendra membikin wedang kawa Gula tebu, kue putu, kue bikang
mendut, koci, semar mendem
Dibungkus telur dadar disiram Santan kanil
Wara surendra membikin sambal goreng Kering, udang dan hati ayam Rambak kulit ayam berbumbu petis Nasi lembek dan akas, nasi liwet ayam jago
Wara Surendra membikin wedang Daun belimbing wuluh, keripik ketela Keripik linjik, pisang goreng, karak
Malam di pendapa Ki Darmajati Cahaya damar gemerlapan menimpa Dinding dan tiang jati
Semua hidangan telah disuguh dari Lentik perempuan berhati teguh Perempuan yang tekun dan cekatan Terampil menyiapkan ratus, bedak Param, tapel pupur wilis, konyoh Meracik jejamuran, mengetahui segala Rempah-pawah, obat daun yang Berkasiat. Pandai pula menenun Memintal benang, menyulam, menyongket Merangkai bunga, menjahit, mencelupkan Ke soga, mewarisi kain batik, mematut Matut isi rumah
Hingga pada waktunya, tamu rupawan Yang bercahaya undur diri dan Berpesan pada Wara Surendra
“Rara, kudoakan Kepada Allah Segeralah menikah, mendapatkan Jodoh yang tepat, yang tulus Berbudi keturunan mulia.”
Cahaya damar tetap berpendar sampai Subuh. Sang tamu undur mengulum senyum
Magelang, 2015

SRI SADANA
Melata ke timur, ia mengulur umur Mengukur jarak tempuh tanpa keluh
Di Wasutira tubuh yang lentur melingkar Bersimpuh di sebuah lumbung padi Milik Ken Sanggi
Sentong gentong geming dan tenang Siapa jabang bayi yang ditunggui ular Melilit diri dalam sunyi yang membelit Tubuh atas kutuk pastu ayah yang Berderik dan berderit Dikala lapar di malam-malam?
Sadana melayang menjelma Sriti hitam menyingkap langit di antara Delapan penjuru mata angin Menyangkal nasib diri telah bersayap Dan berparuh di separuh umur yang senyap
“Sampai di mana aku? gerutunya “Akan ke mana lajur usia menuju Jika tubuh adalah gugus bulu Yang diterpa angin dan arakan awan?”
Sayap yang sepi tanpa peta tanpa Waluku. Itu sebabnya Wedowati Tak terlacak di serak bentang sawah Dan liku kali
“Begitulah,” ujar Ki Brikhu, “akan Kusediakan sedah ayu, kembang, lampu Dan uba rampe bagimu, Ular, yang Melingkar dan menjagai bayiku, jabang bayi Titisan Dewi Tiksnawati.”
Di hari terang ketika awan berarak ke barat Mengabarkan angin paling hangat pada Si burung sriti, Wedowati pun malih Kembali semula
Di waktu kekinian, tanah rekah dan keras Luku bajak sapi telah ditaut dalam kisah  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Kisah tentang petani yang Menganggap pekerjaannya Klangenan belaka
Sementara musim tak lagi bisa diterka
Cimahi, 2016

DAENDELS
Jawa digaris sepanjang tepi selat Bali selat Sunda setelah Inggris menggencetnya dan Dua ribu serdadu cuma sepertiganya Bersenjata
Petani dipaksa memintal benang menenun Kain. Pengrajin tembaga Gresik disulap jadi Pabrik bedil. Pengrajin gamelan Semarang Dipaksa jadi pabrik mesiu
Di mana-mana Petani mesti menyetor padi, uwi, gembili Buah, dan sayuran buat menguruk Pekerja rodi yang mati berceceran buat Mengganti tulang-belulang pekerja Yang dibakar di sepanjang jalur Yang dibikinnya
Ada yang belum terangkut Rempah-rempah dan kitab masakan pribumi Ketika jalan terpanjang di bumi Itu hampir jadi
Cimahi-Magelang, 2015

BOSSCHA
Ribuan tahun setelah kaisar Shen Nung Menemukan teh dan cendekian Lu Yu Menulisnya dalam kitab, di kampung kecil Bosscha menyentuh-nyentuhkan sepuluh Jari di papan piano memainkan nada Gemerincing itu sebagai daun teh yang Jatuh melayang dan luruh di sebuah Telaga bening
Pengalengan yang dingin bisa diusir Sepat-sepat teh. Teh yang menghampar Di seluas lereng gunung Windu
Jalan berkelok-liku dan embun Yang turun setebal Kapas menjadi lengkap di antara para Petani teh bercaping lebar yang berjajar yang Ditunggui mandor berpistol di sisi pinggang Sebelah kiri
Di gedung besar seorang seniman diminta Melukis tentang geulis pemetik teh yang Bibirnya merekah seperti daun teh jatuh Melayang, dan entah kelak ke mana kan luruh
2015

BAGIAN DARI KINANTI
Tiba di hutan Bagor tiga pengembara Menunaikan salat Magrib hingga Isya
Gempa mengguncang ketika penguasa Hutan datang
Demikianlah, ketiganya terpesona melihat Perempuan sangat cantiknya duduk menunduk Memohon dirawat pada sang tamu: Ratu Trenggana Wulan, demit penguasa hutan
Tak ada angin tak ada hujan Pengetahuan tentang binatang-binatang Teruraikan di bawah bintang-bintang
“Keringkan darahnya, gerus dengan bawang Merah beserta adas lalu rendam dalam Air wadah mangkok putih Itu obat mata.”
Polo pan kinarya pupuh Ing netra pan datan keri Ing lalamur sawabira Jajantungipun binukti Sawabira saron gampang Sabarang ingkang kinapti
Nun, Nabi Sulaiman menguraikan kasiat Burung pelatuk bawang. Ratu Trenggana Wulan menjabarkan
Kepala untuk obat Mata untuk penglihatan Agar jelas tak kabur Makanlah jantungnya, khasiat Memudahkan sembarang yang Dikerjakan
Kerik jengkerik, suara katup bunga Nangka mendengar ujaran putri Prabu Brawijaya itu tentang burung pelatuk Gagak, dan prenjak
Menjelang Subuh ratu lenyap Meninggalkan aroma wangi di sekitar Telaga Sugihwaras yang tak berwaris
Magelang, 2015

KLIPING WARISAN IBU
Menjelang mangkat, ibu membagi Setumpuk kertas pada istri, kakak-kakak ipar Seperti berwasiat, kitab yang tak Terlalu tebal disodorkan pada menantunya Dengan tangan gemetar
Ibu menciumi setumpuk demi setumpuk sebelum Mengecup pipi semua menantu. Satu-satu Semua dapat
“Tak ada yang kuberikan pada kalian kecuali ini Bukalah sesampai rumah.”
Bertahun kemudian, di sebuah hari ketika rumah Tak dililit ribet dan kami jauh dari ribut, tumpukan Kertas dari ibu kami buka berdua. Kami tertawa
Nyaman rasanya membacanya, seperti berperahu Di tengah telaga sambil memancing ikan-ikan
Sungguh, tanganku digenggamnya erat Perahu bergeming di geriap air yang hening Di bawah langit berwarna kuning
Kitab ternyata telah khatam dibaca istri dan Tiap hari huruf mengelupas sebab Fasih sudah tangan halusnya rikat menerjemahkan Juga, betapa likat lidah mungilnya mencecap rerempah
“Ini resep asli dari ibu. Sayur kesukaanmu Ada di halaman dua tujuh.” Maka terbayanglah Garam, wajan, bumbu, dan tungku gerabah yang Pinggirnya retak cuil kecil di waktu aku kecil
Kini aku mengerti betapa panjang halaman-halaman Ini. halaman-halaman yang mengulur ingatan akan Kampung halaman
Dapur, meja makan, dan tatap matamu yang bening Juga satu kalimat peninggalan ibu di sesisip kliping
“Segala ibu menjadikanmu hangat dari tungku Yang mengepul, dari piring yang berkumpul Dan beradu.”
Cimahi, 2015

PAPEDA KUAH KUNING
Sungguh, surga mana kutemui ini?
Papeda kenyal dari batang sagu Kuah kuning dari kakap berwarna saga
Tak jauh dari hutan dan lembah-lembah Di antara hamparan laut yang menawan
Oi, papeda telah menunggu Sayur ganemo yang di dalamnya Tenggelam daun melinjo Ditumis bunga papaya
Dan kuah kuning tercecap tomat Leon cui, rempah-rempah, dan kaldu Ikan
Sungguh, jika rawa-rawa sungai Sungai dijagai buaya dan gunung Telah dikeruk emas tembaganya Tak boleh dirampas dibawa pergi Resep masakan ini meski nanti seisi Alam makin kikis makin menipis
2015

JENANG 2 WARNA
Ketika kau lahir darah tumpah Ketuban pecah. Wajahmu bercahaya
Aku begitu getir merasakan ibumu Menahan perih dan letih
Aku begitu getar menatapmu Menjadi muazin pertama bagimu
Maka di hari weton Sepiring jenang putih Sepiring jenang merah Di kamar turut mendoakan
Setelah lahir dan diazankan Hidup rampung usai disalatkan
Cimahi, 2014

PEPES BELIDA
Belida yang pipih Dari cokelat kali palembang Dibelit daun pisang dililit rempah Yang dilumat dilumurkan di sekujur
Daun selasih di sampingnya Disimpangkan
Aku menatapnya. Kau menatapnya Sejenak kita susuri Musi seperti Membaca Sriwijaya yang dilayari Kapal dagang dan pelancong yang Tanahnya mencuat beton yang Menjulang dan mengangkang
Baiklah, pepes kita buka Belida yang disayat, beberapa bagian Tubuhnya gosong
Entah siapa diantara kita memulai Mengelupasi kulit dan menempelkan Balutan bumbu di lidah kita yang Tak lelah-lelah berlayar ke mana-mana
Palembang, 2003-2015

BIBIR KUALI
Di bibir kuali pada suatu kali Bibirku ketemu masakan ibu
Bibir yang retak segaris selalu Duduk di tungkai tungku
Tungku api dari batu yang Berlubang dua yang ujungnya miring Ditutup wingko pecahan genting
Dari lebar bibirnya Aku bayangkan seperti kawah Mendidih yang mendedahkan biji-biji Kacang merah dan kacang tanah
Bibir cokelat semu merah itu Kini tiada. Bukan sebab retak Atau rusak tapi karena kenangan Memang harus diciptakan dari dapur Sederhana yang lantainya tanah Yang rumahnya tabah
Magelang, 2015

DI DALAM ISTANA IKAN bersama Roem Topatimasang
Dari berjuta jenis ikan, telah terhidang Beberapa di antaranya di meja restoran
Perut memang kecil, tapi kemauan Lebih berjuta banyaknya dari ikan Di lautan, sentilmu
Tujuh sambal, lalapan, oseng kangkung Memagari kerapu, taneke, baronang Udang, dan ikan lain yang aneh Namanya. Aku termangu dan ragu Memegang pencatut dan garpu ketika Menu yang kupilih seekor kepiting sedang
Bagaimana mereka bisa hidup Di istana air negeri ini? tanyaku
Alkisah, para nelayan dan pelayar Sungguh mencintainya sebagaimana Penyair menjala kata-kata, mendekap Menangkapi puisi dengan perahu miliknya
Tapi siapa sangka jika segala jenis lautan Berteman onak, angin sakal, dan perompak
Ah, nikmati saja. Toh, di sini tak bakal kita Temui tengkulak dan bayang cuaca yang Tak menentu, katamu
Sesaat setelah gerimis rintik, kami Bergegas ketika pengemis cilik Mengacungkan kaleng dengan tangan Kirinya
Makassar, 2006

BANDA REX bersama Nani Zulminarni
Aku tak jadi pesan sate Matang. Kuambil Dua bungkus keripik meulieung dari saku Celana. Jus terong Belanda tandas Sambil menunggu larut, kita pilih-pilih menu
Orang-orang tumpah, seolah tak menyisakan Tempat duduk di warung terbuka ini
Sesekali kuperhatikan bangkai perahu Yang bersandar di atap gedung. Ukiran naga, Cat merah-putih yang mengelupas, dan Lukisan yang tak jelas. Aku teringat masa Kecil ketika menggambar kampung halaman Yang ditumbuhi aneka pepohonan, matahari Yang menyala di tengah, dan kali Yang melintas dan membelit bukit
Oi, mie daging rusa telah diantar pelayan Apakah ini beraroma ganja? Aku bergurau Sambil mencecapnya dengan ujung garpu Lidahmu lebih memilih mencicipi kuah Seolah khawatir aroma berubah
Angin laut sampai juga di sini Aroma kopi ada di kanan-kiri Orang-orang bersliweran
Aku melirik jam tangan ketika piring penuh tisu Dan gelas kosong sudah
“Tak ada jam malam, tak usahlah khawatir,” Katamu sambil langsir menghampiri kassa Aku beranjak. Kita bergegas pulang setelah Mengantri di belakang pemuda berlogat Jawa Yang kaos belakangnya bertuliskan huruf Kapital berwarna merah: Kita harus membangun Sendiri negeri ini!
Angin terasa asin di perjalanan
Aceh, 2008

SAJAK UNTUK UMAR KAYAM
Lantip pergi ke Jogja Dari Madiun dibawanya brem Dan satu pak bumbu pecel Oleh-oleh untuk ibu kosnya dulu Semasa jadi mahasiswa
Lantip diundang jadi pembicara
Diskusi tentang tragedi 1965
Yang akhir-akhir ini di mana-mana Rusuh dengan pelarangan dan Perlawanan
Ia mengelus dada
Di selatan bunderan Sagan pinggiran Rumah sakit, tak didapatinya lagi Penjual bakmi jawa yang penjualnya Laki-laki tua dari Piyaman
Oalah, kecelik
Tak ada kata maknyus kali ini Maka dikitarinya kota seribu hotel Ini dengan vespa pinjaman
Lantip tak bisa ngebut soalnya Semua roda jalannya pelan dan kini ia Mengerti bahwa makin banyak Gerai gawai dan kedai kopi juga Satu-satu toko buku kukut
Oalah, ia kecelik lagi
Yogyakarta, 2015

KOMPOR
Apa kabar kompor? Ini malam ingin kukenang kau
Bagaimana dulu tiap bulan Membongkar wadah minyak tanah Mengulur sumbu dan memotong Pucuknya yang arang dan ringkih
Setelan sumbu harus licin tak mampat Oleh karat. Semua bagian dilap mengkilap Hingga ibu mengulum senyum
Tangan ini puluhan tahun sudah Tak terendam minyak tanah Itu sebab negara kewalahan mengolah Minyak bumi
Pada akhirnya kini, aku Menuliskanmu juga dalam larik Puisi sederhana. Betapa dari ujung Benang menyala itu telah Mengenangkanku pada segala Masakan ibu
Cimahi, 2013

TEDAK SITEN
Di pelataran depan rumah dua kaki mungil Diinjakkan ke tanah ketika usia menginjak Usia sembilan bulan
Dikurung dalam pranji berhias Janur kuning, telah tersedia tumpeng Gudangan, jenang abang-putih, jenang Boro-boro, jajan pasar, ingkung ayam, dan Sega gurih
Di tikar dekat tampah ada jedah merah Putih, hitam, kuning, biru, merah muda Dan ungu
Kembang setaman di bokor. Tangga dari Tebu rejuna, padi-kapas, beras kuning Sekar telon, gelang, kalung, cincin Bapak, ibu, kakek, nenek, kerabat Berkumpul mendekat merubung Kaum
Setelah kaki menginjak jadah Meniti tangga tebu, lalu dikurung Di kranji
Ruang kecil dari anyaman bambu Tersebar perhiasan, cermin, baju, buku Uang Kau pilih yang mana?
Tangan yang tak begitu terampil Menyempil angin menghadang masa depan Dengan jari-jari mungil
Cimahi, 2016

BERITA DI TIVI
Harga cabai rawit mencapai Delapan puluh ribu. Ibu menggerutu Betapa di meja makan Tak aka nada raut megap-megap Keringetan
Bapak berkata bahwa petani seperti Kami menanam tapi cuma memanen Keringat
Bukankah cabai suka bertabiat begitu?
Muntilan, 2014

Tentang Hasta Indriyana Hasta Indriyana lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta; Piknik yang Menyenangkan dan Rahasia Dapur Bahagia. Buku lainnya: Kisah Cinta yang Dirahasiakan (cerpen); Teater, Tiada Hari tanpa Pembebasan (penelitian); Pintar Bahasa Indonesia Superlengkap (bahasa), Seni Menulis Puisi (teori sastra).

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Ada kamus kecil di halaman 94-112, yang dibagi dalam beberapa kategori, yaitu Bumbu (16 entri), Masakan (24 entri), Perabot Dapur (16 entri), Pohon (27 entri), Tokoh (11 entri) dan Umum (45 entri). Termasuk di dalam entri umum ada sedikit berpanjang lebar dijelaskan tentang: perdagangan rempah, sejarah kopi di Indonesia, dan sejarah teh di Indonesia. Dalam laman biodata ada 3 orang, yaitu Hasta Indriyana, Purwadmadi Admadipurwa, dan Ismu Ismoyo. Purwadmadi menulis Menggantang Kelembutan, Liris-liris Lirik Memesona sepanjang 7 halaman (halaman xi-xvii). Halaman persembahan berisi kata-kata ini: Mengenang sahabat baik: Eko Boedyono. Kira-kira begitu.

No comments:

Post a Comment