Follow Us @soratemplates

Friday, May 4, 2018

Burhanuddin Soebely: RITUS PUISI


image

Data buku kumpulan puisi

Judul : Ritus Puisi
Penulis : Burhanuddin Soebely
Cetakan : I, Oktober 2017
Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin
Bekerjasama dengan Panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan XIV Kandangan 2017.
Tebal : xii + 66 halaman (40 puisi)
ISBN : 978-602-9864-69-4
Editor : Aliman Syahrani
Layout : Pustaka Banua
Desain sampul : Kayla Untara
Prolog : Aliman Syahrani

Ritus puisi terdiri dari 2 bagian, yaitu Ombak dan Pantai, Sajak-sajak 1982-1987 (20 puisi) dan Ritus Puisi, Sajak-sajak 1992-1999 (20 puisi).

Sepilihan puisi Burhanuddin Soebely dalam Ritus Puisi

Sanginduyung

Kenangan Diang Malintang

mengalirlah air, mengalirlah air mencapai muara
meredamkan desau angin ke batu-batu tepi
gigir bukit sepi. Ingin aku berbisik:
telah berkembang Turun Dayang di hutan mainan
menjuntai seperti rambut panjangmu
sehabis keramas di atas lanting

jelang musim petik - ingin  aku damping
tapi aku tak tahu siapa yang membujuk
hingga begitu cepat kau tinggalkan ujuk
padahal kemarin malam bersintuh tangan kita
sambil babangsai di lantai balai

mega pun merah senja - pembaringanmu
bertabur kembang tanjung
berwatas sanginduyung

pecah harap gigil batu
rumput cuaca membisu

1982
Turun Dayang = nama anggrek hutan Pegunungan Meratus
Lanting = rakit
Ujuk = kamar rumah adat Suku Bukit
Babangsai = tarian pergaulan Suku Bukit
Balai = rumah adat/rumah besar Suku Bukit
Sanginduyung = bilah-bilah bambu yang ditancapkan di sekeliling kubur, ujungnya runcing mengarah langit, dimaksudkan penangkal makhluk jahat yang ingin mengambil mayat



Ritus Puisi
pada bari-baris Puisi kusaksikan berkas-berkas cahaya berkumpul kembali ke Keindahan dan semesta cuma sehembus nafas yang membagi-bagi diri menjadi cermin Keesaan
pada baris-baris Puisi kutemukan arasy di dalam hatiku kutemukan singgasana di akalku kutemukan sidrat di bentuk tubuhku kutemukan ruh di nafasku hingga aku mengerti kedudukanku yang Kau muliakan di sisi-Mu
duh, Yang Maha limpahi pencerahan di puisiku agar ketika orang-orang membaca segera bertasbih memuji-Ku
1994

Di Pagelaran Topeng
gamelan memburu sukmamu memburu langkahku langit darah mega mendung hilang wajah dipanggang terik mimpi. Kian jauh jalan dari garpa bunda kian suluh damar kian sayup sindin Kekasih
memasuki wilayah gaib, sinar putih cermin batu - kacakan  jajar topeng wajah-wajah asing tarian kehidupan - wahai, manakah wajah yang inti mana wajah bentukan puncak sunyi?
di tengah ayakan miring perlahan kulepas topeng kuhirup darah kehendak dan matahari -runcing  panah Janakaâ€" menghempas karang-karang rahasia timbunan makna
(duhai, mandikan aku, Kekasih agar aku pulang sebagai Aku)
1982 Sindin = suluk, sinden ayakan miring = salah satu irama gamelang/karawitan Kalsel

Opera Banjar
â€"Ma, kita ke sini membawa bahasa bunga kenapa bulan menggugurkan duri duka?â€"
ah, jangan berkaca di kening purnama, nak berkaca saja pada keruh air mata barangkali esok garuda penunggu kota jadi iba dan kita sempat mengais remah di sisi piringnya
kita adalah wajah berdaki yang luput menjemba jukung nang dikayuh baimbai keburu melaju memburu biru muara
kita adalah miang dermaga penunggu dapur balu yang dibungkus kain tambal seribu
â€"Ma, bandarmasih bandar tambat beribu jung adakah tersisa satu saja untuk kita? Nining Antih di bulan Sudah kian bungkuk punggungnyaâ€"
ah, jangan berkaca pada kening purnama, nak berkaca saja pada keruh air mata kita percayakan ketukan abadi di pintu langit pada zikir pertama Samudera
1985 jukung nang dikayuh urang baimbai = perahu yang dikayuh orang bersama, kayuh baimbai (kayuh bersama) adalah salah satu motto kebersamaan di Kalimantan Selatan Samudera = pendiri kerajaan Islam pertama di Tanah Banjar

Aku Cuma Punya Kata
aku cuma punya kata kuberi ia sayap untuk terbang ke rumahmu melihat tulisan-tulisan dan rahasia perbendaharaan
ia selalu pulang dengan sayap terbakar
aku cuma punya kata kuserahkan pada seorang tua minta dibuatkan sayap yang kukuh dan diterbangkan ke rumahmu
ia selalu pulang dengan sayap terbakar
aku akhirnya jera setiap kata hendak terbang kuikat dengan benang penyerahan
aneh, rahasia tulisan dan perbendaharaan-Mu terbuka sendiri
1993

Kasidah Cinta
dalam doa malamku, aku mencoba menafsirimu dan berguru pada tetes hujan yang bersunyi di rumah tiram sebelum menjelma mutiara
dalam doa subuhku, aku mencoba menafsirimu dan berguru pada embun yang membisikkan rahasianya di rajah daun
dalam doa siangku, aku mencoba menafsirimu menangkapi isyarat-isyarat mercu bahasa purbani kerdip matamu
sungguh, aku mencintaimu itu sebabnya aku tak pernah selesai menafsirimu
1997

Membaca
bacalah! dan aku pun mengeja berulang kali, menapisi keterbentukan dari aksara yang kautinggalkan. Tapi aku tak bisa membaca karena setiap kueja aksara masih ada bersisa
bacalah!
dan aku pun mendaraskan nama-nama, menyuling keragaman dari bayangan yang kauciptakan. Tapi aku tak bisa membaca karena setiap kudaraskan nama masih bersisa
bacalah!
dan kau pun meletakkanku dalam cahaya, sehingga aku jadi tahu: aksara akan membuta jika pembaca  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚   Â Ã‚ Ã‚  dan yang dibaca masih ada antara
1996

Kasidah Diri
sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir kusiapkan lagi perburuan. Barangkali untuk menjaring matahari, barangkali untuk memanen khuldi atau barangkali tidak untuk apa-apa lagi
kekasih, mengapa di kesucian pipi kaugerai lagi rambut hitam itu? Padahal dini tadi berulangkali kumaklumkan inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil̢۪alamin
sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir di atas lari kuda kulepaskan kendali. Bukankah aku cuma petak tanah tempat kaubermain tali?
1999

Kasidah Walau
walau berabad sudah kita bertangkap lepas takkan bisa aku mengenalimu kalau kamu tak mengenalkan dirimu
walau berabad sudah kuasuh rindu takkan bisa kita bertemu kalau kamu tak menghampiriku
walau berabad sudah kubasuh hati takkan bisa sampai ke inti diri kalau kamu tak menyucikanku
1999

Tahajud
selaksa damba dalam susun jerigi menyilak watas rahasia. kau-ku ketemu dalam ruang muat berdua, menjalani wicara di ketelanjangan dada, berlapis sutera
tak kutampak semi dan rindu di palung matamu tapi aku ingin damping selalu, bertangkup dada berpiuh rasa, sama menepis sangakala purba
selaksa damba dalam susun jerigi berkayuh jiwa berlingkup cahaya. Wahai, janganlah berujung kebersamaan kita, kendati nanti kaubalik dunia
1985

Pada Sebuah Pelayaran
pesona lautlah yang membujukmu melepas perahu dari tiang tambat dan menorehkan nama ke dermaga tanda pernah di sana. Selebihnya cuma janji akan kembali bila terompet lokan berbunyi
sebagai anak ombak kau pun merasa mengerti bahasa laut ganggang berayun, pasrah dalam zikir camar berkepak, cemas dalam zikir badai menghempas, gemuruh dalam zikir karang menggunung, kukuh dalam zikir
tapi laut tak cuma memeram badai tak cuma menyimpan karang. Seribu peri berjuntai di akar malam nyanyinya begitu memabukkan dan membuatmu membuang pengayuh, berlabuh ke teluk orang usiran
suatu senja orang tak berwaktu menikammu di ujung nafas melintas dermaga lama hitam dirajam batu-batu langit dan ketika telingamu menangkap suara terompet lokan kau tak lagi punya pilihan
1995

Dalam di Dalam
dalam di dalam diam, berapa banyak tersimpan rahasia kata? Terbentang jalan terkuak sawang bercakap kau-ku di keabadian kelindan
adakah kenikmatan lebih yang lebih dari cakap diam dalam sungkam?
dalam di dalam sungkam, tak ada lagi jarak kau-ku. Berangkap hati bertaut jari simpul tali sisal ke tunggul jembatan
adakah kedalaman lebih yang lebih dari nyusur jalan dalam damping?
dalam di dalam diam, dalam di dalam sungkam sirna cuat duri salak. Di bening mata telaga terkaca rumah janjian. Di dalamnya kita
kekasih, sempurnakan lidahku mengejamu dalam luka di saat pemburu itu mengkuku dada
1987

Hari-hari Larut
hari-hari larut dalam jam kabut dan kau pun bertanya tentang Negeri Cinta (barangkali karena malam bulan mati Barangkali karena siang terik sekali) selebihnya cuma doa membilang Nama-Nama
hari-hari larut dalam jam kabut dank au pun beramsal tentang Negeri Asal (barangkali karena tapak tak berjejak Barangkali karena rimba membelantara) selebihnya sungai air mata membisikkan rahasia luka purba
1996

Lagu Sangsai
(kunang-kunang di utara mengisyaratkan malam hampir tiba)
sudah saatnya mengubur kapak dan gendewa, membawa zirah Adam ke Kutub Cinta. Tapi miang cuaca menjadikanku tawanan keinginan di atas kuda yang mengidam rumput bulan - kelaparanku, Tuhan  Â Ã‚  tak pernah puas  Â Ã‚  dengan piring di pintu-Mu -
(jika perpisahan kita jadi jalan ke dekat-Mu harusnya sempurnalah kesukaan pada hampa)
begitu penuh jam-jam bimbang pun embun menyembunyikan rahasianya hilang-hilang di daun-daun
kujelajahi lagi kota-kota dan terkesiap:  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  semakin lelah kepak sayap kupu-kupu  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  semakin rimbun bunga-bunga
1992

Tentang Burhanuddin Soebely Burhanuddin Soebely lahir di Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalsel, 2 Januari 1957.  Sempat kuliah di Fakultas Teknik Sipil UII Yogyakarta namun tidak selesai. Tamat Fisip Universitas Terbuka jurusan Administrasi Negara. Bekerja di dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kumpulan puisinya Patilarahan (1987) dan Ritus Puisi (2000). Novelnya Reportase Rawa Dupa, Seloka Kunang-kunang dan Konser Kecemasan
, merupakan pemenang II Sayembara Cerita Bersambung Majalah Femina tahun 1997, 1998, dan 2001. Menulis skenario sinetron di TVRI, menulis dan menyutradarai film Matahari Samudera (2006). Juga aktif menulis naskah teater dan menyutradarainya bersama komunitas teater, Posko La-Bastari. Menerima anugerah budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2010. Meninggal 28 Mei 2012 dan dimakamkan di desa Asam Cangkuk, Kandangan.

Catatan Lain  Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Aliman menulis pengantar yang dijudulinya Purama Pancalatun (hlm. v-vii). Di tulisan ini terungkap bahwa puisi-puisi ini sudah dalam bentuk naskah utuh berupa buku yang diprintout dan dijilid sendiri secara manual. Di balik cover ada tertulis Dewan Kesenian Hulu Sungai Selatan sebagai penerbit, dengan edisi cetak pertama adalah bulan Januari tahun 2000. Dus, tanpa ISBN tentu.    Â Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚ Ã‚  Halaman persembahan bertulis: Buat Pejalan Rindu dan Penyujud Cinta. Dan pada bagian belakang buku ada Burhanuddin Soebely dalam Memoar Penyair Kalsel (hlm. 49-62), yang berisi sekitar 28 komentar.

No comments:

Post a Comment